Kamis, 13 Juni 2013

Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial


http://suar.okezone.com/read/2010/02/24/58/306626/redirect

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu bersaudara. Bahkan keduanya merupakan saudara kembar yang lahir dari ibu kandung yang sama: rakyat.

Keduanya berhubungan dan harus berhubungan sesuai dengan fungsi masing-masing. Presiden tanpa DPR akan menjadi otoriter, DPR tanpa presiden laksana pohon tanpa buah atau dengan kata lain bagaikan ilmu tanpa amal. Rakyat memerlukan presiden untuk menjalankan pemerintahan negara dan rakyat membutuhkan DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan tersebut. Presiden disebut eksekutif (dari kata to execute), bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan (pemerintahan) untuk mengeksekusi apa yang ditetapkan undang-undang.

Sementara DPR disebut legislatif karena DPR-lah yang menjalankan fungsi legislasi di samping fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi legislasi DPR adalah pembentukan undang- undang (lawmaker), bahkan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Rancangan undang-undang (RUU) baik yang datang dari DPR maupun yang diajukan presiden dibahas bersama-sama antara DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Dalam menjalankan fungsi penganggaran DPR menerima dan membahas Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan presiden untuk disetujui menjadi APBN. Presiden melaksanakan APBN, DPR mengawasi pelaksanaannya.

Nah, dalam menjalankan fungsi pengawasan inilah DPR oleh UUD 1945 diberi instrumen berupa beberapa hak, yaitu hak interpelasi (hak mengajukan pertanyaan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi, penyuapan, dan pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

DPR menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan UU, demikian juga presiden. Memang benar sejatinya UUD 1945, apalagi setelah amendemen, menganut sistem presidensial. Di antara ciri sistem presidensial adalah adanya periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun.

Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.”

DPR “hanya” bisa berpendapat sesuai dengan hak menyatakan pendapat yang dimilikinya bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden tersebut (lihat Pasal 7B ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 UUD 1945). Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut menjadi wewenang sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan hukum acara di sana. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika seandainya MK telah membuktikan kebenaran pendapat DPR sekalipun dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan presiden/wakil presiden, MPR dapat saja tidak memberhentikannya.

Sebab, presiden/wakil presiden masih juga diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan presiden telah terbukti bersalah. Penjelasan presiden/wakil presiden tersebut toh bisa saja diterima oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil. Berbeda dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan sepenuhnya politis dan itu hanya terjadi di dalam (within) dua lembaga politik saja, yaitu DPR (ingat mekanisme jatuhnya memorandum kepada presiden jika DPR menduga presiden melanggar garis-garis besar daripada haluan Negara) dan MPR (melalui Sidang Istimewa) saja.

Sementara setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan menurut penafsiran penulis MK-lah yang lebih menentukan secara signifikan: satu-satunya lembaga negara yang berhak memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran tersebut di atas itu.

Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan DPR. Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain dan hanya bisa dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya.*** 

Hubungan antara keduanya tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi, melainkan lebih dalam relasi checks and balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh menerima atau menolak RUU secara apriori yang diajukan pemerintah; dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menerima atau menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan presiden dan dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan presiden/pemerintah. Hatta ketika presiden tersebut datang dari partai politik yang sama! Kriterium penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak!

Di sini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi! Memang ada pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga negara yang juga berfungsi mengontrol kekuasaannya melalui mekanisme checks and balances, tetapi presiden sebagai kepala pemerintahan adalah satu-satunya yang berwenang melakukan eksekusi (to excecute). Sampai di sini semuanya jelas dan terang-benderang. Yang namanya DPR, baik partai politik induknya bergabung dalam koalisi pemerintahan maupun berada di luar pemerintahan, tugas konstitusionalnya adalah menjalankan ketiga fungsi tersebut, terutama pengawasan.

Meskipun berasal dari partai yang berkoalisi, anggota DPR tetap bertugas mengawasi Presiden yang didukung koalisi. Pasalnya, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely! Sebab siapa pun dia, begitu mereka memegang kekuasaan maka yang berlaku adalah hukum kekuasaan: cenderung untuk korup! Dan karena itu harus diawasi! Dalam konteks dan perspektif ini maka dalam sistem UUD 1945 koalisi partai-partai politik hanya bisa dilakukan di dalam satu lembaga negara, tidak bisa lintas lembaga negara.

Partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi untuk melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Partai-partai politik yang berkoalisi yang menempatkan menteri-menterinya di kabinet/pemerintahan harus berkoalisi untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam perspektif ini maka agak aneh kalau akhir-akhir ini, wacana tentang koalisi dan oposisi mendominasi ruang publik kita, utamanya di kalangan pemerhati politik. Walhasil bagi anggota DPR sebenarnya nothing to do dengan sikap partainya. Meski partainya bergabung dalam kabinet, fungsi dan wewenang anggota DPR tetap seperti itu: menjalankan fungsi pengawasan.

Konkretnya, kader Golkar yang menjadi menteri bertugas menjalankan pemerintahan dan kader Golkar yang menjadi anggota DPR bertugas menjalankan fungsi pengawasan. Tidak peduli meskipun yang diawasi adalah sesama kader Golkar. Walhasil, yang bergabung dalam kabinet bertugas menjalankan pemerintahan negara dan yang bergabung dalam DPR bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Manis, bukan?(*)

Hajriyanto Y Thohari
Wakil Ketua MPR RI

(//mbs) - See more at: http://suar.okezone.com/read/2010/02/24/58/306626/redirect#sthash.yGRXbTKS.dpuf

Selasa, 11 Juni 2013

“Menunggangi Agama utk Politik” vs “Menunggangi Politik utk Agama”

by @hafidz_ary
http://www.pkspiyungan.org/2013/06/menunggangi-agama-utk-politik-vs.html
“Menunggangi agama untuk politik” berbeda dengan “menunggangi politik untuk agama”.

Menunggangi agama untuk politik: agama cuma tunggangan, padahal biasanya anti terhadap nilai agama. contohnya mendadak pake kerudung pas jadi cagub.


Mati2an nolak UU pornografi tapi tiba2 pake kerudung saat jd cagub. agama tiba2 jd simbol untuk membohongi kaum muslimin.


"Menunggangi agama untuk politik" itu memanfaatkan simbol2 agama skedar untuk capaian politik. contoh: mendadak pake kerudung saat jd cagub.

Sedangkan “menunggangi politik untuk agama”: memenangkan politik untuk melarang pornografi internet, untuk mensejahterakan masyarakat, untuk melarang maksiat.

Menunggangi agama untuk politik itu biasanya mengumbar simbol-simbol Islam, ayat-ayat, dsb untuk meraih politik.

Sedangkan mrk yg menunggangi politik untuk Islam biasanya Gak gembar gembor simbol, tp misi2 Islam terlaksana melalui politik.

PKS mendukung UU anti pornografi, tapi minim ngobral ayat saat berargumen di parlemen, ini namanya menunggangi politik untuk agama.

Caleg perempuan PKS pake jilbab sdh dari dulu. jadi caleg atau bukan, jilbab sdh jadi sikap. mereka bukan mendadak pake kerudung biar dipilih.

Yg menunggangi atau jualan agama biasanya kedepankan simbol, tp tak satu pun misi Islam dibawa, biasanya anti Islam.

Sudah kalah di pilkada gubernur ya dicopot kerudungnya, balik lagi anti Islam. ini namanya politisasi agama, ini namanya menjual agama.

Sedangkan mereka yang menunggangi politik untuk Islam biasanya justru minim simbol2 Islam, tapi full dg misi Islam.

Bedakan : "menunggangi agama untuk politik" dengan "menunggangi politik untuk agama" | yang diserang biasanya yg kedua.

Yang biasanya dituduh "jualan agama" adalah yg "menunggangi politik untuk misi agama" | karena aktivitas ini mengusik kebatilan.

Cagub yg tiba2 pake jualan simbol kerudung untuk suara, aman dari tuduhan jualan agama. padahal ini yg jualan agama.

Jadi yang jualan agama justru partai2 sekuler, biasanya anti thdp Islam tapi mendadak jualan simbol islam untuk dapat suara muslim.

Ada partai sekuler yang anti banget sama Islam, anti UU zakat, anti UU pornografi , tiba2 cagub nya pake kerudung :D

Tuduhan munafik, jualan agama lebih pas disematkan pada partai2 sekuler yg biasanya anti agama tapi ujug2 pake simbol agama saat kampanye.

Tiba-tiba cagub partai sekuler menyumbang masjid, padahal biasanya anti masjid. ini jualan agama.

Yang jualan agama sebenernya partai2 sekuler, mereka anti agama tapi sering jualan simbol agama. inget iklan salah satu capres sekuler :D

Si capres dari partai sekuler ini tiba2 fasih ceramah dan jadi selingan acara tv ini saat mendiskreditkan PKS.

(@MrkodayPDIP punya Baitul Muslimin,Demokrat punya Majelis Dzikir SBY. Msk kriteria menunggangi agama untuk politik ga?)

Yup.

Penjual agama itu partai yg menolak UU jaminan produk halal, tapi cagubnya mendadak pake kerudung u dpt suara muslim.

Sedangkan pejuang Islam, yg gak koar2 simbol islam tapi perjuangkan UU jaminan produk halal.

Kalo orasi pake takbir jualan agama gak? kami terbiasa bertakbir, ini irama yg mengiringi gerak kami di seluruh bidang. politik atau bukan.

PKS hari ini justru "jualan" jargon "partai tebuka", "NKRI harga mati" "demokratisasi" :D

“Presiden Turki Setujui RUU Larangan Penjualan & Iklan Alkohol”.. ini politik untuk agama apa agama u politik?

Sudah tau ya bedanya penjual agama demi politik dan pejuang agama yg memanfaatkan politik?

Jangan planga plongo denger kata2 "PKS jualan agama", direnungkan, baca argumen pembanding, komparasi, pilah pilih. Berfikir.

Kalo terminologinya "jualan agama", harusnya cagub anti agama yg mendadak pake kerudung yang anda serang :D

Politisasi Islam berbeda dengan Islamisasi politik.

Mendadak pake kerudung saat jd cagub padahal anti Islam, ini politisasi Islam | mendukung UU jaminan produk halal, ini islamisasi politik.

Islamisasi politik dan politisasi Islam itu jauh berbeda niatnya apalagi hasilnya.

Yang politisasi Islam jelas akan menghadang setiap usaha islamisasi politik.

Pelaku "politisasi islam" akan berlawanan dengan pelaku "islamisasi politik".

Sangat jelas dan ekstrim bedanya antara yg menjual Islam dengan pejuang Islam.

Yang membawa kebaikan agama jadi konstitusi itu bukan jualan agama namanya, tapi pejuang agama.


*https://twitter.com/hafidz_ary

HTI ingatkan anggotanya salurkan suara ke Parpol Islam


HTI ingatkan anggotanya salurkan suara ke Parpol Islam

Rendra Saputra
Minggu,  2 Juni 2013  −  15:28 WIB
HTI ingatkan anggotanya salurkan suara ke Parpol Islam
Foto: Hizbut-tahrir.or.id
Sindonews.com - Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk tidak melakukan aksi golput dalam ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 mendatang.

Hal itu disampaikan Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto dalam keterangan persnya di sela-sela kegiatan puncak Muktamar Khilafah HTI, di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (2/6/2013).

Artinya, HTI membebaskan seluruh anggotanya untuk menyalurkan aspirasinya. Namun, disebutnya, lebih baik disalurkan kepada parpol-parpol di Indonesia yang memiliki platform, konsepsi, dan tujuan yang jelas bagi terwujudnya Khilafah Islamiyah.

“Pernyataan resmi HTI itu nanti dimaknai seperti apa? Itu semuanya tentu berpulang kepada masing-masing anggota. Mungkin ada yang memaknai oh…ini PBB, PPP, mungkin ini PAN, PKS, itu adalah hak mereka,” kata Muhammad Ismail Yusanto.

Maka itu, HTI selalu mengingatkan agar anggota yang menggunakan hak pilihnya untuk memilih partai yang baik dan sesuai dengan kriteria yang dirumuskan nantinya.

“Kami ingatkan, silakan gunakan hak itu dengan sebaik-baiknya untuk memilih partai yang baik,” kata Muhammad Ismail Yusanto.

HTI yang merupakan bagian dari partai politik (parpol) internasional itu, lanjutnya, belum memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam Pemilu di Indonesia. Meski, sesungguhnya Hizbut Tahrir pernah ikut ambil bagian dalam Pemilu di Lebanon dan Yordania hingga akhirnya anggota parlemen asal Hizbut Tahrir terdepak dari kursi parlemen.

Meski demikian, tambah Muhammad Ismail Yusanto, bukan berarti HTI tidak berpolitik praktis dalam dinamika politik di Indonesia. 

"HTI konsern pada persoalan-persoalan yang menyangkut keummatan, seperti pornografi, pornoaksi, kebijakan pemerintah yang menindas ummat, dan lainnya. HTI akan tetap bersuara kritis atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut," serunya.

Terkait dengan kegiatan Muktamar Khilafah di GBK Jakarta yang dihadiri sekira 100 ribu lebih anggota HTI dari tiga provinsi di pulau Jawa, Muhammad Ismail Yusanto menegaskan, kegiatan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan tahun politik 2013 menjelang Pemilu 2014.

Kegiatan Muktamar Khilafah yang juga dilakukan di 31 kota di Indonesia sepanjang Mei hingga Juni 2013 yang puncaknya digelar di GBK ini ditujukan untuk kembali mengokohkan persaudaraan ummat bagi terwujudnya Khilafah Islamiyah.

“Kami tegaskan, acara ini tidak ada kaitannya dengan tahun politik, kami pastikan tidak ada hubungannya dengan itu, artinya tidak ada hubungannya dengan calon-calon atau partai-partai tertentu,” ujarnya.

(rsa)

Minggu, 02 Juni 2013

Adnan Menderes; Al-Fatih Modern


Adnan Menderes; Al-Fatih Modern 
By: Nandang Burhanudin 
*** 

Nama

Ali Adnan Ertekin Menderes (lahir di Aydin tahun 1899 – meninggal di Imrali, 17 September 1961 pada umur 62 tahun) merupakan seorang negarawan Turki dan pimpinan pertama yang dipilih secara demokratis dalam sejarah Turki. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Turki antara tahun 1950–1960. Ia merupakan salah satu pendiri Partai Demokrat pada tahun 1946, partai oposisi resmi ke-4 di Turki. 


Berjuang dari Keajaiban 

Masyhur di kalangan masyarakat Turki tersebar kisah bahwa Adnan Menderes menaiki sebuah pesawat terbang. Saat di angkasa, salah satu mesin pesawat mati. Pilot pesawat sudah mengumumkan keadaan emergency. Menderes mengikrarkan diri, jika Tuhan menyelamatkan dirinya, ia berjanji untuk mengembalikan kejayaan Islam di Turki. Pesawat pun terbakar. Satu-satunya penumpang yang selamat, hanya dirinya. 

Perjuangannya

Dikenal sebagai orang yang pertama kali mengembalikan adzan ke dalam bahasa Arab, dimana sejak lama diubah oleh Kemal Attaruk ke bahasa Turki. 
Tahun 1950 bergabung dengan Partai Demokrasi Turki dan menjadi calon dengan program kerja yang nyeleneh untuk ukuran saat itu. Dimana semua survey berbasis di Amerika, sudah menegaskan kegagalan program yang ditawarkan Menderes. Program kampanye Menderes adalah: 
1. Adzan dikembalikan ke dalam bahasa Arab. 
2. Ibadah haji bagi Muslim Turki diizinkan. 
3. Dibolehkan kembali pembukaan sekolah-sekolah keagamaan (Islam) dan pengajaran agama di sekolah-sekolah umum. 
4. Membatalkan UU yang melarang hijab bagi muslimah. 

Hasilnya sangat mencengangkan! Partai Attaruk turun 32 kursi. Sedang Partai Demokrasi Turki meraih 318 kursi. Adnan Menderes pun terpilih menjadi PM Turki, dengan presiden Jalan Payare. 

Sejak dilantik menjadi PM, Menderes langsung memenuhi janji-janji kampanyenya. Pelantikan bertepatan dengan awal Ramadhan. Pada bulan Ramadhan itu pula, Menderes memberlakukan adzan dengan bahasa Arab, kebebasan berpakaian untuk muslimah, pengajaran di masjid-masjid, dan dibolehkan memakmurkan masjid. 

Pada Pemilu 1954, partai Attatruk turun drastis tinggal 24 kursi. Saat itu, Menderes memberlakukan aturan yang membolehkan pengajaran Bahasa Arab, pengajaran Al-Qur'an di seluruh SMP, membangun 10.000 masjid dan 22 Ma'had Islam di Anatolia, dalam rangka akselerasi program para khatib, da'i, dan guru-guru Al-Qur'an. Ia pun membolehkan penerbitan buku-buku Islam, majalah-majalah, atau selebaran yang menyerukan agar kembali berpegang teguh dengan ajaran Islam. Lebih dari itu, ia mengaktifkan kembali masjid-masjid yang dijadikan gudang-gudang untuk kembali menjadi tempat ibadah dan membuka 25 madrasah Tahfizh Al-Qur'an. 

Di tataran regional, Menderes mulai aktif menjalin hubungan dengan Dunia Arab melawan Israel. Tidak hanya itu, ia memberlakukan aturan ketat untuk setiap kargo yang masuk dari Israel, baik kargo obat-obatan atau barang yang Made in Israel. Malah ia pernah mengusir Dubes Israel di Turki tahun 1956. 

Wafatnya 

Arus Islamisasi yang begitu deras, membuat kalangan anti Islam di Turki gerah. Dimotori para jenderal yang sejak Kemal Attatruk banyak menikmati kucuran dollar dari Israel, General Kemal Joe Russel menangkap dan menghukum gantung Menderes. 
Sebab-sebab digantungnya Menderes ditulis oleh seorang wartawan bernama Sami Kohen, "Penyebab dihukum matinya Menderes adalah, kebijakan politiknya yang teramat dekat dengan dunia Islam, sebaliknya dingin dan kaku dengan Israel. Selain itu, kunjungan terakhirnya ke beberapa negara Teluk, yang kemudian dilanjutkan beribadah haji, menjadi sebab kemurkaan militer Turki." 

Ia pun syahid di tali gantungan tahun 1960. 

Hasil Perjuangannya

Banyak pejuang yang selalu mengatakan, "Tugas kita berjuang. Hasil urusan Allah." Maka bisa dipastikan, perjuangan yang hanya berorientasi proses, akan mudah goyah, putus asa, jalan di tempat, dan membabi buta. 
Setelah era runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki, 87 tahun lalu, pejuang-pejuang yang tidak berorientasi hasil mundur terlalu jauh ke belakang. Sibuk mencaci maki keadaan. Mengkafir-kafirkan saudara muslim yang tidak sejalan. Bangga dengan kumpulan manusia yang tak dikenalkan jihad, karena jihad ditiadakan. Kumpulan manusia yang tidak berpengelaman mengurus organisasi, karena yayasan dan lembaga kebajikan ditiadakan. Lalu output apa yang akan dilahirkan? Tidak ada, kecuali generasi pendengki, pencaci, pemaki, dan peratap keadaan dengan jampi-jampi melankolis, sambil menunggu mukjizat turun dari langit tanpa setetes darah yang dikorbankan. 

Sedangkan seorang Adnan Menderes, hanya dalam 10 tahun perjuangannya, sekolah-sekolah Islam yang ia buka, lembaga-lembaga tahfizh yang ia gerakkan, masjid-masjid yang ia bangun, adzan yang ia kembalikan dengan bahasa Arab, ternyata sejak tahun 1996 bermunculan Necmettin Erbakan, hingga penghujung tahun 2006, benih-benih dakwah Menderes bermunculan seperti: Abdullah Gull, Recep Tayip Erdogan, dan generasi terbaik Turki saat ini. 

Adnan Menderes bagi dunia Islam, tak terlalu banyak orang yang mendengar. Karena ia tak pandai menulis buku-buku, hingga tak ada yang menjulukinya Allamah Mujtahid Mutlaq Syaikh. Tapi pengorbanannya menjadi teladan bagi generasi muda Turki, sejajar dengan Imam Syahid Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Raja Faisal, yang tinta darahnya melegenda, tidak sekedar buku-buku kecil yang membingungkan generasi di kemudian hari. Tentu kita bisa memilah-memilih, mana pejuang Syariah sejati dan mana yang sekedar ilusi. Wallahu A'lam.