Wawancara Tariq Ramadan, Tokoh Muslim Eropa, Cucu Hasan Al
Banna
Membaca sebuah sampul buku Tariq Ramadan yang di-share oleh
mas Akhmad Sahal saya mencoba untuk mencari latar belakang cucu Hasan Al-Banna
ini. Selain dari website pribadi Tariq Ramadan, Wikipedia, saya menemukan
sebuah blog (Mentoring98) yang memosting sebuah artikel wawancara Tariq Ramadan
dan Majalah Hidayatullah saat Tariq berkunjung ke Indonesia pada tahun 2003.
Setelah merilis video Youtube tentang sosok ini tengah berpidato tentang
Melampaui Toleransi, saya juga berkeharusan untuk mengetengahkan biografi Tariq
yang dimuat dalam Majalah Hidayatullah ini. Sayangnya, setelah membuka halaman
website Majalah Hidayatullah, saya tidak menemukan postingan ini secara online,
walaupun ada blog yang memuat wawancara ini menunjukkan bahwa Majalah
Hidayatullah pernah memuatnya.
Selamat membaca!
Apa yang Kau Bawa ke Jakarta?
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa seorang cucu pendiri
Al-Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam terbesar yang lahir di Mesir, datang ke
Indonesia atas undangan kelompok-kelompok sekular seperti Paramadina dan
Jaringan Islam Liberal? Kenapa seorang tokoh Muslim Eropa harus didatangkan ke
negeri ini oleh kedutaan besar Swiss di tengah perang terhadap apa yang disebut
“kaum fundamentalis”? Mengapa harus Mizan, yang diasosiasikan sebagai penerbit
berhaluan Syi’ah, yang menjadi sponsor utamanya? Adakah ia didatangkan kemari
untuk menjinakkan gerakan-gerakan Islam?
Berbagai pertanyaan itulah juga yang dibawa redaktur Majalah
Hidayatullah Dzikrullah dan kontributor kami Khadijah Hawari, saat di suatu pagi
pertengahan Juli lalu mendatangi rumah mungil yang disewakan untuk Tariq
Ramadan sekeluarga selama di Jakarta. Iman, isterinya yang ramah, dan
anak-anaknya Maryam, Sami, Moussa, dan Najwa ikut menemaninya selama dua pekan
sekalian berlibur musim panas, menjauh dari dinginnya Switzerland.
Di Eropa, Tariq dikenal sebagai tokoh muda yang semakin
diterima luas baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim, karena
pandangan-pandangannya tentang posisi ummat Islam di benua itu.
Lahir di Jenewa, 40 tahun lalu, ia mengaku dibesarkan oleh
orang tua yang ketat menjalankan Islam. Ayahnya, Sayyid Ramadhan putera Hasan
Al-Banna terpaksa hidup di pengasingan karena tekanan rezim Gamal Abdel Nasser.
Kini Tariq yang kalem dan langsing, mengajar filsafat di College of Geneve dan
mengajar Kajian Islam di Fribourg University, dan telah menulis tiga buah buku
tentang Islam, Muslim dan Barat, serta ratusan makalah.
Boleh saja, majalah TIME mengangkatnya sebagai salah satu
“inovator dunia di bidang spiritualitas”. Tapi rupanya tukang copet di Pondok
Indah Mal tak peduli siapa korbannya. Baru beberapa hari di Jakarta, tas tangan
Tariq raib saat ia dan keluarga berbelanja di pasar mewah itu. Telepon genggam,
kartu-kartu kredit, dan uang senilai 35 juta rupiah melayang. “Seumur hidup
saya tak pernah kecurian, malah dicopet di negara Muslim terbesar di dunia,”
katanya kepada kawannya yang mengantar. Saat ditanya dua hari kemudian ia cuma
tersenyum. Isterinya berkata kepada majalah ini, “Alhamdulillaah ‘ala kulli
haal.” Silakan berkenalan dengan Tariq Ramadan.
Ceritakan pada kami masa kecil Anda.
Kehidupan kami sangat sulit di pengasingan. Ayah saya
meninggalkan Mesir karena tekanan Nasser pada tahun 1954 menuju Damaskus, lalu
ke Lebanon, kemudian ke Eropa. Tadinya ayah memilih London, tapi kemudian
akhirnya tiba di Swiss (1958) di mana masyarakat Muslimnya masih sangat
sedikit.
Saya merasakan langsung betapa berat tantangan yang dihadapi
iman ayah saya di lingkungan Barat. Alhamdulillah, tiga tahun setelah bermukim
di Swiss berdirilah Islamic Center dibantu pemerintah Arab Saudi. Waktu itu
ayah berhubungan baik dengan Mohammad Natsir.
Tahun 1970-an ketika saya memulai masa remaja, ayah
mengalami masa yang berat, sendirian dan tak punya uang. Waktu itu saya mulai
berpikir untuk kembali ke Mesir saja, sampai akhirnya saya berkesempatan pulang
ke Mesir. Tujuan utama ke Mesir meletakkan pondasi keislaman saya tanpa sekolah
formal. Saya mempercepat masa belajar yang seharusnya 5 tahun jadi 2 tahun.
Waktu itu, saya punya banyak guru untuk berbagai disiplin
ilmu, ‘Ulumul Quran dan Tafsir, Hadits, bahasa Arab, Sirah Nabawiyah, dan
lain-lain. Alhamdulillah apa yang saya dapat di masa itu sangat bermanfaat
sampai sekarang.
Selain mengajar di dua tempat, apa saja kesibukan Anda
sekarang?
Dalam 15 tahun terakhir ini saya berkonsentrasi dalam dua
pekerjaan utama yang langsung menyentuh masyarakat bawah (grass root). Pertama,
saya ikut mendirikan Gerakan Globalisasi Alternatif (The Alter Globalization
Movement), yang merupakan kristalisasi gerakan anti-globalisasi. Globalisasi
versi para penguasa modal besar sifatnya merusak. Kami menawarkan format
globalisasi yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Saya banyak
berkeliling Afrika, Amerika Selatan, dan negara-negara miskin lainnya untuk hal
ini.
Kegiatan
kedua, membina generasi baru bakal pemimpin Muslim di seluruh Eropa. Dalam
setahun saya dan teman-teman men-training sekitar 300 pemuda Muslim antara usia
20-30 tahunan sampai yang seusia saya. Kami bertukar pikiran dan menyusun
langkah-langkah kongkrit memperkuat wajah Muslim di Eropa.
Apa yang Anda sampaikan kepada mereka?
Kami mengajak mahasiswa dan para pemimpin Muslim bergerak
membangun generasi baru yang bercirikan dua hal: iman yang kuat untuk
mengarahkan pemikiran yang kritis, dan pemikiran yang kritis untuk membangun
iman yang kuat.
Siapa saja tokoh da’wah yang bekerja dengan Anda?
Diantaranya Zaid Shakir di Amerika Serikat, Tariq Oubrou,
Dubois Hussein, dan Syeikh Zakariya di Prancis, Ataullah Siddiqui di Inggris,
Hamzah Picardo di Itali dan banyak lagi. Kami bekerja dengan platform Eropa.
Kami banyak menerbitkan kaset mengenai isu-isu masa kini. Soalnya kebanyakan
masyarakat tidak membaca, tapi mendengarkan. Sudah 120-an kaset rekaman yang
kami hasilkan, berisi perbincangan mengenai semua topik yang berkembang di
kalangan Muslim Eropa, termasuk hal-hal mendasar seperti ibadah, tafsir, dan
lain-lain.
Selain itu, kami ingin membangun pola baru hubungan
antar-jama’ah dan masyarakat Muslim, dimulai dari negara-negara berbahasa
Inggris sejak 4 tahun lalu. Sejak 2 tahun lalu kami juga bekerja di
negara-negara berbahasa Prancis, dari Benin, Pantai Gading, sampai Mesir dan
Kanada. Setiap kali bertemu setidaknya 200 orang hadir dan memiliki komitmen
untuk mempererat dialog antar masyarakat dan jama’ah.
Apakah nama kakek Anda berpengaruh pada cara para pemimpin
Muslim itu menerima Anda?
Tentu saya sangat dipengaruhi ayah, ibu, dan kakek saya.
Dengan kerendahan hati saya sangat bangga akan hal ini. Saya sangat menghormati
ayah dan kakek saya. Khususnya kakek saya, yang telah mengunjungi 17.000 desa dalam kurun waktu 20
tahun. Itu artinya dia tahu benar persoalan rakyat kebanyakan dan dia teladan
yang sangat baik bagi saya.
Ketika orang-orang bertanya kepadanya, “Kenapa Anda tidak
menulis buku? ”Kakek saya menjawab, “Saya memang tidak menulis buku, tapi saya
menulis (membina) rakyat.” Saya mengikutinya.
Apa perbedaan antara Anda dengan kakek Anda?
Dia
berasal dari tradisi reformis (mujaddid), sebuah tradisi yang usianya sama
dengan Islam itu sendiri. Ini tradisi saya. Yang saya lakukan bukan menirunya
(imitating), melainkan menangkap logika perjalanannya. Banyak orang yang
mengaku pengikut Hasan Al-Banna tidak benar-benar menjadi mujaddid, mereka
semata-mata menjadi muqallidin mujaddidin (para pentaqlid mujaddid).
Kakek saya menghadapi budaya penjajahan Barat, sedangkan
yang sekarang kita hadapi jauh lebih besar yaitu penjajahan budaya, globalisasi
yang bergerak hampir tanpa batas dalam bentuk kebudayaan yang dominan.
Sekularisasi merupakan definisi sempit globalisasi yang sangat merusak.
Hasan
Al-Banna memerlukan organisasi yang kuat dengan hirarki yang sangat kokoh, saya
tidak mengikuti yang ini. Beliau membawa jawaban-jawaban yang mengubah
akhlaq dan etika masyarakat Mesir, saya tidak bekerja untuk masyarakat Mesir.
Beliau memberi jawaban mendasar bagi persoalan-persoalan di
tahun 1940-an, sedangkan saya berada di tahun 2003. Bagi Al-Banna politik hanya
salah satu jalan da’wah, tapi politik bisa menyebabkan kita enggan membuka
dialog dengan orang lain. Padahal, betapa banyak orang yang ada diantara kita
tapi tidak bersama kita, dan betapa banyak orang yang tidak ada diantara kita
tetapi mereka bersama kita. Di dalam struktur organisasi hal itu banyak
terjadi, saya mempromosikan kordinasi antar-jama’ah.
Saya mempelajari perilaku kakek saya, tindakan-tindakannya,
dan saya sangat menghormatinya, termasuk menghormati aspek-aspek ruhiyahnya. Dia mendirikan 2000 sekolah
selama umurnya yang singkat (kakek saya syahid dalam usia 42, saya sekarang 40)
dan menghadapi penjajah dengan tangan dan pikirannya. Dia menghadapi secara
terbuka dan heroik proyek Zionisme.
Saya mengagumi dan memilah-milah semuanya secara kritis. Kakek saya pernah berkata,
satu-satunya manusia yang harus dicontoh dalam segala hal hanya Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari manusia selain Nabi, kita bisa mengambil
sebagian, meninggalkan bagian yang lain.
Apakah menurut Anda ummat Islam masih membutuhkan organisasi
seperti Al-Ikhwanul Muslimun, Hizbut Tahrir, atau lainnya?
Semua
organisasi memberi manfaat bagi ummat Islam dan perkembangan Islam. Semua
memiliki visi yang saling melengkapi. Semua akan lebih bermanfaat jika mereka melakukan dialog
antar jama’ah (intra-community dialogue). Dialog ini bahkan sangat
berguna untuk mengatakan kepada Muslim sekular, bahwa mereka telah jauh dari
tradisi Islam.
Kelompok
Salafi juga bermanfaat. Saya tidak punya persoalan apapun dengan kelompok
Salafi. Kadang kala kita tergelincir jauh dan lupa pada teks, Salafi dengan
disiplin kuat akan mengingatkan agar Anda kembali ke jalur yang benar. Saya
tidak akan pernah meremehkan mereka.
Tadi Anda menyebut budaya penjajahan dan penjajahan budaya
oleh Barat. Apakah pendekatan Muslim Eropa yang Anda tawarkan sudah bisa
menjinakkannya?
Kita masih dalam proses. Berada di Eropa dan Amerika sebagai
Muslim berarti Anda berada di garis terdepan dalam perang melawan hawa nafsu.
Tantangannya adalah bagaimana mempromosikan kebudayaan dan peradaban Islam. Kita belum sepenuhnya
berhasil. Tidak semua yang berasal dari Arab itu Islamic, sebaliknya, tidak
semua yang berasal dari Barat itu satanic.
Ketika
Anda mengkampanyekan kebebasan (freedom) itu nilai Islami, tapi harus dibedakan
antara freedom dan permisiveness (serba boleh). Kita mencoba memasukkan kebebasan
sebagai agenda Islam sekaligus melindungi diri kita dari permisiveness.
Rasionalitas itu Islami, tapi rasionalisasi ekstrem tidak Islami.
Selama
50 tahun orang menyebut dirinya “Muslim di Eropa”, saya mengubahnya jadi
“Muslim Eropa”. Intinya, membangun diri kita sebagai Muslim yang kuat sambil
menyeleksi nilai-nilai mana saja dari Barat yang memang sudah ada di dalam
Islam sejak awal. Visi Islam yang kuat, itulah yang kita butuhkan di Eropa.
Apakah Anda setuju pada pandangan bahwa akar filosofis Barat
adalah Yunani, Romawi, Yahudi, dan Kristen?
Saya tidak setuju. Saya mempelajari dan hidup diantara
filsafat-filsafat itu, dan saya berkesimpulan bahwa yang membentuk Barat adalah Yahudi, Kristen, dan
Islam. Di dalam pikiran orang Barat, mereka sadari atau tidak, ada memori yang
sangat terseleksi tentang filsafat Yunani yang bertujuan menggusur pengaruh
Islam.
Anda
harus faham, orang Barat tidak memperoleh filsafat Yunani secara langsung. Apa
yang mereka sebut filsafat Yunani (baik itu Socrates, Aristoteles, Plato, dan
lain-lain) sesungguhnya merupakan salinan dan komentar dari para pemikir Islam
seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Ghazali dan lain-lain. Jadi
filsafat Yunani yang dipelajari Eropa sudah dipengaruhi perspektif para pemikir
besar Islam. Tapi orang Eropa tak mau menyebut nama-nama Islam itu.
Apa contohnya pengaruh memori terseleksi yang sekarang masih
ada?
Misalnya
tentang apa yang disebut sekularisme. Sebenarnya Barat mengambil tradisi ini
secara salah kaprah dari rasionalitas Islam. Sebagaimana Anda ketahui, sampai
abad pertengahan Barat dikendalikan gereja yang tidak bisa menerima
rasionalisme. Seorang pemikir Barat bernama Alain de Libera mengatakan, ide
sekularisasi antara wilayah agama dan wilayah negara diambil dari Islam.
Di mana
salah kaprahnya? Begini, di dalam Islam kita punya metodologi ibadah dan
muamalah. Sejak awal sudah ada pembedaan (distinction) antara kedua wilayah
ini, tetapi bukan pemisahan (divorce). Pembedaan ini memberi inspirasi kepada
Barat yang waktu itu didominasi kekuasaan gereja yang irrasional. Maka
dilahirkanlah apa yang kini disebut sekularisasi yang memisahkan kehidupan
agama dan negara.
Apakah Anda seorang sekular?
Alhamdulillah, tentu saja bukan. Sebagai Muslim saya tidak punya masalah untuk
hidup di tengah masyarakat sekular, karena saya memiliki prinsip-prinsip.
Memang ada jarak antara prinsip dan model. Madinah itu dirancang untuk tempat,
waktu, dan orang-orang yang spesifik. Apa yang menjadi tugas kita ialah membangun model sebaik
mungkin dengan merujuk pada prinsip-prinsip Islam. Di Asia kebutuhannya berbeda, di
Afrika juga, begitu pula di Eropa. Modelnya bisa berbeda-beda, tapi prinsipnya
pasti sama.
Di
zaman Rasulullah ada kesamaan hak dan kewajiban diantara rakyat Madinah, yang
kini kita sebut kewarganegaraan yang setara (equal citizenship). Prinsip inilah
yang harus kita tawarkan. Kalau sebagian orang hendak mendirikan negara Islam, ayo kita
duduk bersama membicarakan modelnya, tentu tidak semata-mata mengimitasi
Madinah, kan?
Anda lahir dan dibesarkan di negeri tempat gerakan Zionisme
dilahirkan. Apakah Anda setuju pada pendirian negara Israel?
Pendirian Israel merupakan suatu kezhaliman. Sekarang
kenyataannya sudah ada bangsa Israel di Palestina, kita tidak bisa mengingkari.
Apa yang kita kehendaki
sekarang. Saya menentang gagasan dua negara dalam satu wilayah ini (Israel dan
Palestina). Harus hanya ada satu negara bersama (common state) yang mendudukkan
Muslim, Yahudi, dan Kristen dalam kesetaraan.
Terus terang yang kita pertanyakan kadar keyahudian Israel.
Sebuah negara bersama bukanlah negara Yahudi. Israel menginginkan negara
Palestina kecil yang terpisah dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa kecuali
terhadap warganya sendiri. Itu bukan negara namanya. Apa yang saya maksud
negara bersama, bukan negara Palestina “merdeka” seperti dalam benak Ariel
Sharon. Itu utopia.
Ketika gagasan ini saya katakan kepada orang-orang Yahudi
Zionis, mereka bilang, “Gagasan ini sepintas adil, tetapi sesungguhnya
menghancurkan pondasi utama Israel.”
Negara
bersama adalah negara Islam, sebagaimana Madinah. Negara seperti inilah
satu-satunya format yang bisa melindungi hak dan mendesakkan kewajiban setiap
orang secara setara, sebagaimana Madinah.
Jika pagi ini, Anda duduk di sini berhadapan empat mata
dengan seorang pemuda Palestina yang akan melakukan ‘amaliyah istisyhadiyah
(bom syahid) nanti malam, apa yang akan Anda katakan kepadanya?
(Tariq terdiam beberapa saat) Ada tiga hal yang akan saya
katakan kepada pemuda ini. Pertama, Hasan Al-Banna pernah menceritakan, suatu
kali ia menghadiri sebuah pertemuan di mana orang-orang berteriak, “Allahu Akbar wa
lillaahilhamd! Kami ingin mati di jalan Allah.” Beliau berkata, “Mati di jalan
Allah itu sangat sulit, tapi hidup di jalan Allah itu lebih sulit lagi.”
Ini sebuah keputusan besar. Anda mungkin akan lebih bermanfaat bagi rakyat Anda
dengan membangun negeri ini daripada dengan kematian Anda. Pikirkan dan
luruskan benar-benar niat Anda.
Kedua, akan saya katakan, membunuh orang-orang yang tidak
bersalah bertentangan dengan Islam. Anak-anak Yahudi itu tidak bersalah. Jika Anda tetap akan melakukan hal
ini, berhati-hati dan tentukan sasaran Anda secara tepat.
Ketiga,
akan saya katakan, saya sangat menghormati Anda, karena dalam keadaan yang
sangat sulit, dengan penuh keikhlasan, Anda berusaha menegakkan keadilan,
Al-‘Adl, yang merupakan salah satu asma Allah ta’ala.
Di Eropa, jika seorang Muslim ditanya mengenai (bom syahid)
ini ada dua kemungkinan, segera mengecam, atau merasa tidak enak, “eeehmm anu..
emm begini…”
Sebenarnya,
segala hal di dunia ini bisa dijelaskan oleh Islam dengan lugas. Tidak ada yang
membantah, bahwa membunuh orang yang tidak bersalah adalah melanggar Islam, per
se condemnable. Tapi ada orang-orang yang sedang menghadapi penyiksaan,
penjara, penindasan, dilupakan oleh seluruh negara Muslim, tidak ada
pertolongan dari Barat, rumah-rumah mereka dihancurkan setiap hari. Kalau
sampai mereka melakukan apa yang Anda disebut bom syahid itu menurut saya
secara kontekstual bisa difahami. Saya tidak bermaksud membolehkan pembunuhan
terhadap orang-orang tak bersalah, tapi kita harus bertanya, kenapa mereka
sampai harus melakukan perbuatan itu. Saya katakan kepada para pemimpin Barat,
Anda lah penyebabnya, Anda lah yang mendesak orang-orang ini sehingga berpikir
inilah satu-satunya cara membela diri, Anda lah yang harus bertanggung jawab,
bukan mereka.
Di Indonesia, ada orang-orang yang menyebut dirinya “Muslim
modernis atau neo-modernis” dan menyebarkan pemikiran bahwa menjadi modern
berarti menjadi sekular. Apakah Anda sependapat dengan hal ini?
Mereka berbicara sebagai Muslim di luar Islam, tidak sampai
murtad, tapi menganggap Quran sebagaimana buku-buku lainnya dan menafsirkannya
tanpa rasa apapun di hatinya. Saya menghormati orang-orang rasional tapi harap berhati-hati,
pembaharuan Islam harus lahir dari dalam logika dan jantung hati Islam sendiri.
Saya datang dari Barat dan saya tahu kelemahan sekularisme. Apa yang terjadi di Barat bukan
sekularisme, melainkan ketiadaan Islam (the absence of Islam). Kita harus memandang Quran dan
Sunnah sebagai dua naskah sumber kebenaran dan membacanya memerlukan sains
tersendiri. Ini bukan pendapat pribadi, tetapi prinsip yang sangat mendasar.
Shalat itu wajib dilaksanakan. Kalau ada yang bilang tidak
wajib silakan, tapi jangan bilang pemikiran itu berasal dari Islam, katakan itu
pendapat pribadi Anda. Misalnya saya katakan, hijab itu perintah Islam –isteri
dan anak perempuan saya mengenakan hijab, tapi harus dilaksanakan dengan
kemerdekaan, tidak dipaksakan. Setiap wanita harus memutuskan mau tidaknya dia berhijab,
bukan orang lain. Ini merupakan keputusan iman.
Di
dalam Islam, ada pembedaan antara wilayah privat dan wilayah publik, bukan
pemisahan. Kalau
yang Anda inginkan pemisahan, maka Anda mengikuti Barat sebelum Anda mengikuti
logika.
Jika memahami Islam tanpa memiliki ilmu-ilmu dasar (ushuli),
mereka berbicara sebagai orang di luar Islam. Mereka berbicara mengenai diri
sendiri dengan memakai mata orang lain.
Apakah belajar Islam di Barat selalu mengandung risiko
disorientasi seperti itu?
Ada dua trend orang Indonesia yang pergi belajar Islam ke
Barat, yang pulang menjadi anti-Islam atau justeru jadi sangat Islami. Jika
kita memegang prinsip-prinsip Islam, Anda tahu apa yang baik untuk Anda, dan
itulah sikap Anda karena Islam menyatu (integrating) dengan Anda. Saya tidak
merasa minoritas di Eropa. Ketika
saya berbicara tentang keadilan, kemerdekaan, kehormatan pribadi, saya
berbicara bersama mayoritas orang. Saya menjadi inklusif justeru saat saya
memegang teguh prinsip-prinsip Islam.
Tentu Anda tidak berbicara untuk menyenangkan hati semua
orang, bukan?
Tidak. Banyak juga orang yang menentang saya di Barat,
bahkan dari kalangan Muslim. Dengan kalangan non-Muslim kami berdialog secara
terbuka, tapi sebagian mereka juga mengatakan, orang ini berbahaya. Kata mereka, yang lebih
berbahaya di kalangan Muslim sebenarnya justeru yang jenggotnya lebih pendek
(tersenyum).
Baru-baru ini di sebuah koran terkemuka di Prancis bernama
Liberation, ada sebuah tajuk yang menyebut, “Apa yang disebarkan Tariq adalah
komunitarianisme (communitarianism). Anda salah, Tariq tidak menginginkan
integrasi Muslim ke dalam Republik ini, ia ingin integrasi Republik ini ke
dalam Islam.” Saya tidak menanggapinya.
Tahukah Anda, sebagian orang dan organisasi co-sponsor yang
mengundang Anda ke sini merupakan simbol-simbol utama gerakan sekularisasi
ummat Islam di negeri ini?
Saya tidak tahu. Sudah lama saya ingin ke Indonesia sampai
seseorang menelepon dan menanyakan kemungkinan mengundang saya. Ini terjadi dua
tahun lalu, dan mulai direncanakan serius setahun lalu, saya dihubungkan dengan
Mizan. Pesan saya satu, tolong pertemukan saya dengan sebanyak mungkin
kelompok, dan sekarang saya bertemu banyak orang.
Buat saya itu tidak masalah, tapi tolong sampaikan pesan
kepada Brothers dan Sisters di sini, jangan melihat siapa yang mengundang saya,
tapi dengarkan apa yang saya katakan. Sebab boleh jadi orang-orang yang
mengundang saya menyediakan tempat agar saya mengatakan sesuatu yang Islami,
tapi kemudian ternyata yang keluar dari mulut saya justeru bertentangan dengan
tradisi Islam. Jangan menilai wacana dari siapa yang mengundang saya. Saya
sering diundang oleh mereka yang disebut kelompok liberal dan mereka senang
karena saya menyambut undangan mereka. Saya menentang pengkotak-kotakan Muslim.
Saya pergi ke Maroko, mereka punya persoalan besar karena
tidak ada dialog terbuka antara kaum elit (yang berbahasa Prancis) dan kaum
tradisional (yang berbahasa Arab). Saya datang dan membicarakan prinsip-prinsip
logika dasar Islam, sekitar 900 sampai 1000 orang hadir, tidak ada yang
menentang apa yang saya sampaikan. Saya mempromosikan dialog. Inilah maksud saya datang ke sini.
Saya tidak tahu siapa sebenarnya mereka, tapi saya ingin mereka semua datang
dan dengarkan saya, ayo kita bicara.
Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari Anda menjaga kekuatan
iman dan pikiran yang kritis secara bersamaan?
Muraqabah,
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Membaca Quran setiap hari adalah bagian
dari disiplin kita pada jalan hidup kita. Muraqabah membutuhkan
pemahaman yang sangat luas mengenai ibadah, sampai apapun yang Anda lakukan,
semuanya mengingatkan Anda pada Allah.*