Minggu, 10 Juli 2016

Wawancara Tariq Ramadan, Tokoh Muslim Eropa, Cucu Hasan Al Banna

Wawancara Tariq Ramadan, Tokoh Muslim Eropa, Cucu Hasan Al Banna

Membaca sebuah sampul buku Tariq Ramadan yang di-share oleh mas Akhmad Sahal saya mencoba untuk mencari latar belakang cucu Hasan Al-Banna ini. Selain dari website pribadi Tariq Ramadan, Wikipedia, saya menemukan sebuah blog (Mentoring98) yang memosting sebuah artikel wawancara Tariq Ramadan dan Majalah Hidayatullah saat Tariq berkunjung ke Indonesia pada tahun 2003. Setelah merilis video Youtube tentang sosok ini tengah berpidato tentang Melampaui Toleransi, saya juga berkeharusan untuk mengetengahkan biografi Tariq yang dimuat dalam Majalah Hidayatullah ini. Sayangnya, setelah membuka halaman website Majalah Hidayatullah, saya tidak menemukan postingan ini secara online, walaupun ada blog yang memuat wawancara ini menunjukkan bahwa Majalah Hidayatullah pernah memuatnya.
Selamat membaca!

Apa yang Kau Bawa ke Jakarta?
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa seorang cucu pendiri Al-Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam terbesar yang lahir di Mesir, datang ke Indonesia atas undangan kelompok-kelompok sekular seperti Paramadina dan Jaringan Islam Liberal? Kenapa seorang tokoh Muslim Eropa harus didatangkan ke negeri ini oleh kedutaan besar Swiss di tengah perang terhadap apa yang disebut “kaum fundamentalis”? Mengapa harus Mizan, yang diasosiasikan sebagai penerbit berhaluan Syi’ah, yang menjadi sponsor utamanya? Adakah ia didatangkan kemari untuk menjinakkan gerakan-gerakan Islam?

Berbagai pertanyaan itulah juga yang dibawa redaktur Majalah Hidayatullah Dzikrullah dan kontributor kami Khadijah Hawari, saat di suatu pagi pertengahan Juli lalu mendatangi rumah mungil yang disewakan untuk Tariq Ramadan sekeluarga selama di Jakarta. Iman, isterinya yang ramah, dan anak-anaknya Maryam, Sami, Moussa, dan Najwa ikut menemaninya selama dua pekan sekalian berlibur musim panas, menjauh dari dinginnya Switzerland.

Di Eropa, Tariq dikenal sebagai tokoh muda yang semakin diterima luas baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim, karena pandangan-pandangannya tentang posisi ummat Islam di benua itu.

Lahir di Jenewa, 40 tahun lalu, ia mengaku dibesarkan oleh orang tua yang ketat menjalankan Islam. Ayahnya, Sayyid Ramadhan putera Hasan Al-Banna terpaksa hidup di pengasingan karena tekanan rezim Gamal Abdel Nasser. Kini Tariq yang kalem dan langsing, mengajar filsafat di College of Geneve dan mengajar Kajian Islam di Fribourg University, dan telah menulis tiga buah buku tentang Islam, Muslim dan Barat, serta ratusan makalah.

Boleh saja, majalah TIME mengangkatnya sebagai salah satu “inovator dunia di bidang spiritualitas”. Tapi rupanya tukang copet di Pondok Indah Mal tak peduli siapa korbannya. Baru beberapa hari di Jakarta, tas tangan Tariq raib saat ia dan keluarga berbelanja di pasar mewah itu. Telepon genggam, kartu-kartu kredit, dan uang senilai 35 juta rupiah melayang. “Seumur hidup saya tak pernah kecurian, malah dicopet di negara Muslim terbesar di dunia,” katanya kepada kawannya yang mengantar. Saat ditanya dua hari kemudian ia cuma tersenyum. Isterinya berkata kepada majalah ini, “Alhamdulillaah ‘ala kulli haal.” Silakan berkenalan dengan Tariq Ramadan.

Ceritakan pada kami masa kecil Anda.

Kehidupan kami sangat sulit di pengasingan. Ayah saya meninggalkan Mesir karena tekanan Nasser pada tahun 1954 menuju Damaskus, lalu ke Lebanon, kemudian ke Eropa. Tadinya ayah memilih London, tapi kemudian akhirnya tiba di Swiss (1958) di mana masyarakat Muslimnya masih sangat sedikit.

Saya merasakan langsung betapa berat tantangan yang dihadapi iman ayah saya di lingkungan Barat. Alhamdulillah, tiga tahun setelah bermukim di Swiss berdirilah Islamic Center dibantu pemerintah Arab Saudi. Waktu itu ayah berhubungan baik dengan Mohammad Natsir.

Tahun 1970-an ketika saya memulai masa remaja, ayah mengalami masa yang berat, sendirian dan tak punya uang. Waktu itu saya mulai berpikir untuk kembali ke Mesir saja, sampai akhirnya saya berkesempatan pulang ke Mesir. Tujuan utama ke Mesir meletakkan pondasi keislaman saya tanpa sekolah formal. Saya mempercepat masa belajar yang seharusnya 5 tahun jadi 2 tahun.

Waktu itu, saya punya banyak guru untuk berbagai disiplin ilmu, ‘Ulumul Quran dan Tafsir, Hadits, bahasa Arab, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Alhamdulillah apa yang saya dapat di masa itu sangat bermanfaat sampai sekarang.

Selain mengajar di dua tempat, apa saja kesibukan Anda sekarang?

Dalam 15 tahun terakhir ini saya berkonsentrasi dalam dua pekerjaan utama yang langsung menyentuh masyarakat bawah (grass root). Pertama, saya ikut mendirikan Gerakan Globalisasi Alternatif (The Alter Globalization Movement), yang merupakan kristalisasi gerakan anti-globalisasi. Globalisasi versi para penguasa modal besar sifatnya merusak. Kami menawarkan format globalisasi yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan. Saya banyak berkeliling Afrika, Amerika Selatan, dan negara-negara miskin lainnya untuk hal ini.

Kegiatan kedua, membina generasi baru bakal pemimpin Muslim di seluruh Eropa. Dalam setahun saya dan teman-teman men-training sekitar 300 pemuda Muslim antara usia 20-30 tahunan sampai yang seusia saya. Kami bertukar pikiran dan menyusun langkah-langkah kongkrit memperkuat wajah Muslim di Eropa.

Apa yang Anda sampaikan kepada mereka?

Kami mengajak mahasiswa dan para pemimpin Muslim bergerak membangun generasi baru yang bercirikan dua hal: iman yang kuat untuk mengarahkan pemikiran yang kritis, dan pemikiran yang kritis untuk membangun iman yang kuat.

Siapa saja tokoh da’wah yang bekerja dengan Anda?

Diantaranya Zaid Shakir di Amerika Serikat, Tariq Oubrou, Dubois Hussein, dan Syeikh Zakariya di Prancis, Ataullah Siddiqui di Inggris, Hamzah Picardo di Itali dan banyak lagi. Kami bekerja dengan platform Eropa. Kami banyak menerbitkan kaset mengenai isu-isu masa kini. Soalnya kebanyakan masyarakat tidak membaca, tapi mendengarkan. Sudah 120-an kaset rekaman yang kami hasilkan, berisi perbincangan mengenai semua topik yang berkembang di kalangan Muslim Eropa, termasuk hal-hal mendasar seperti ibadah, tafsir, dan lain-lain.

Selain itu, kami ingin membangun pola baru hubungan antar-jama’ah dan masyarakat Muslim, dimulai dari negara-negara berbahasa Inggris sejak 4 tahun lalu. Sejak 2 tahun lalu kami juga bekerja di negara-negara berbahasa Prancis, dari Benin, Pantai Gading, sampai Mesir dan Kanada. Setiap kali bertemu setidaknya 200 orang hadir dan memiliki komitmen untuk mempererat dialog antar masyarakat dan jama’ah.

Apakah nama kakek Anda berpengaruh pada cara para pemimpin Muslim itu menerima Anda?

Tentu saya sangat dipengaruhi ayah, ibu, dan kakek saya. Dengan kerendahan hati saya sangat bangga akan hal ini. Saya sangat menghormati ayah dan kakek saya. Khususnya kakek saya, yang telah mengunjungi 17.000 desa dalam kurun waktu 20 tahun. Itu artinya dia tahu benar persoalan rakyat kebanyakan dan dia teladan yang sangat baik bagi saya.
Ketika orang-orang bertanya kepadanya, “Kenapa Anda tidak menulis buku? ”Kakek saya menjawab, “Saya memang tidak menulis buku, tapi saya menulis (membina) rakyat.” Saya mengikutinya.

Apa perbedaan antara Anda dengan kakek Anda?

Dia berasal dari tradisi reformis (mujaddid), sebuah tradisi yang usianya sama dengan Islam itu sendiri. Ini tradisi saya. Yang saya lakukan bukan menirunya (imitating), melainkan menangkap logika perjalanannya. Banyak orang yang mengaku pengikut Hasan Al-Banna tidak benar-benar menjadi mujaddid, mereka semata-mata menjadi muqallidin mujaddidin (para pentaqlid mujaddid).
Kakek saya menghadapi budaya penjajahan Barat, sedangkan yang sekarang kita hadapi jauh lebih besar yaitu penjajahan budaya, globalisasi yang bergerak hampir tanpa batas dalam bentuk kebudayaan yang dominan. Sekularisasi merupakan definisi sempit globalisasi yang sangat merusak.
Hasan Al-Banna memerlukan organisasi yang kuat dengan hirarki yang sangat kokoh, saya tidak mengikuti yang ini. Beliau membawa jawaban-jawaban yang mengubah akhlaq dan etika masyarakat Mesir, saya tidak bekerja untuk masyarakat Mesir.

Beliau memberi jawaban mendasar bagi persoalan-persoalan di tahun 1940-an, sedangkan saya berada di tahun 2003. Bagi Al-Banna politik hanya salah satu jalan da’wah, tapi politik bisa menyebabkan kita enggan membuka dialog dengan orang lain. Padahal, betapa banyak orang yang ada diantara kita tapi tidak bersama kita, dan betapa banyak orang yang tidak ada diantara kita tetapi mereka bersama kita. Di dalam struktur organisasi hal itu banyak terjadi, saya mempromosikan kordinasi antar-jama’ah.

Saya mempelajari perilaku kakek saya, tindakan-tindakannya, dan saya sangat menghormatinya, termasuk menghormati aspek-aspek ruhiyahnya. Dia mendirikan 2000 sekolah selama umurnya yang singkat (kakek saya syahid dalam usia 42, saya sekarang 40) dan menghadapi penjajah dengan tangan dan pikirannya. Dia menghadapi secara terbuka dan heroik proyek Zionisme.

Saya mengagumi dan memilah-milah semuanya secara kritis. Kakek saya pernah berkata, satu-satunya manusia yang harus dicontoh dalam segala hal hanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari manusia selain Nabi, kita bisa mengambil sebagian, meninggalkan bagian yang lain.

Apakah menurut Anda ummat Islam masih membutuhkan organisasi seperti Al-Ikhwanul Muslimun, Hizbut Tahrir, atau lainnya?

Semua organisasi memberi manfaat bagi ummat Islam dan perkembangan Islam. Semua memiliki visi yang saling melengkapi. Semua akan lebih bermanfaat jika mereka melakukan dialog antar jama’ah (intra-community dialogue). Dialog ini bahkan sangat berguna untuk mengatakan kepada Muslim sekular, bahwa mereka telah jauh dari tradisi Islam.

Kelompok Salafi juga bermanfaat. Saya tidak punya persoalan apapun dengan kelompok Salafi. Kadang kala kita tergelincir jauh dan lupa pada teks, Salafi dengan disiplin kuat akan mengingatkan agar Anda kembali ke jalur yang benar. Saya tidak akan pernah meremehkan mereka.

Tadi Anda menyebut budaya penjajahan dan penjajahan budaya oleh Barat. Apakah pendekatan Muslim Eropa yang Anda tawarkan sudah bisa menjinakkannya?

Kita masih dalam proses. Berada di Eropa dan Amerika sebagai Muslim berarti Anda berada di garis terdepan dalam perang melawan hawa nafsu. Tantangannya adalah bagaimana mempromosikan kebudayaan dan peradaban Islam. Kita belum sepenuhnya berhasil. Tidak semua yang berasal dari Arab itu Islamic, sebaliknya, tidak semua yang berasal dari Barat itu satanic.

Ketika Anda mengkampanyekan kebebasan (freedom) itu nilai Islami, tapi harus dibedakan antara freedom dan permisiveness (serba boleh). Kita mencoba memasukkan kebebasan sebagai agenda Islam sekaligus melindungi diri kita dari permisiveness. Rasionalitas itu Islami, tapi rasionalisasi ekstrem tidak Islami.

Selama 50 tahun orang menyebut dirinya “Muslim di Eropa”, saya mengubahnya jadi “Muslim Eropa”. Intinya, membangun diri kita sebagai Muslim yang kuat sambil menyeleksi nilai-nilai mana saja dari Barat yang memang sudah ada di dalam Islam sejak awal. Visi Islam yang kuat, itulah yang kita butuhkan di Eropa.

Apakah Anda setuju pada pandangan bahwa akar filosofis Barat adalah Yunani, Romawi, Yahudi, dan Kristen?

Saya tidak setuju. Saya mempelajari dan hidup diantara filsafat-filsafat itu, dan saya berkesimpulan bahwa yang membentuk Barat adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Di dalam pikiran orang Barat, mereka sadari atau tidak, ada memori yang sangat terseleksi tentang filsafat Yunani yang bertujuan menggusur pengaruh Islam.

Anda harus faham, orang Barat tidak memperoleh filsafat Yunani secara langsung. Apa yang mereka sebut filsafat Yunani (baik itu Socrates, Aristoteles, Plato, dan lain-lain) sesungguhnya merupakan salinan dan komentar dari para pemikir Islam seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Ghazali dan lain-lain. Jadi filsafat Yunani yang dipelajari Eropa sudah dipengaruhi perspektif para pemikir besar Islam. Tapi orang Eropa tak mau menyebut nama-nama Islam itu.

Apa contohnya pengaruh memori terseleksi yang sekarang masih ada?

Misalnya tentang apa yang disebut sekularisme. Sebenarnya Barat mengambil tradisi ini secara salah kaprah dari rasionalitas Islam. Sebagaimana Anda ketahui, sampai abad pertengahan Barat dikendalikan gereja yang tidak bisa menerima rasionalisme. Seorang pemikir Barat bernama Alain de Libera mengatakan, ide sekularisasi antara wilayah agama dan wilayah negara diambil dari Islam.

Di mana salah kaprahnya? Begini, di dalam Islam kita punya metodologi ibadah dan muamalah. Sejak awal sudah ada pembedaan (distinction) antara kedua wilayah ini, tetapi bukan pemisahan (divorce). Pembedaan ini memberi inspirasi kepada Barat yang waktu itu didominasi kekuasaan gereja yang irrasional. Maka dilahirkanlah apa yang kini disebut sekularisasi yang memisahkan kehidupan agama dan negara.

Apakah Anda seorang sekular?

Alhamdulillah, tentu saja bukan. Sebagai Muslim saya tidak punya masalah untuk hidup di tengah masyarakat sekular, karena saya memiliki prinsip-prinsip. Memang ada jarak antara prinsip dan model. Madinah itu dirancang untuk tempat, waktu, dan orang-orang yang spesifik. Apa yang menjadi tugas kita ialah membangun model sebaik mungkin dengan merujuk pada prinsip-prinsip Islam. Di Asia kebutuhannya berbeda, di Afrika juga, begitu pula di Eropa. Modelnya bisa berbeda-beda, tapi prinsipnya pasti sama.

Di zaman Rasulullah ada kesamaan hak dan kewajiban diantara rakyat Madinah, yang kini kita sebut kewarganegaraan yang setara (equal citizenship). Prinsip inilah yang harus kita tawarkan. Kalau sebagian orang hendak mendirikan negara Islam, ayo kita duduk bersama membicarakan modelnya, tentu tidak semata-mata mengimitasi Madinah, kan?

Anda lahir dan dibesarkan di negeri tempat gerakan Zionisme dilahirkan. Apakah Anda setuju pada pendirian negara Israel?

Pendirian Israel merupakan suatu kezhaliman. Sekarang kenyataannya sudah ada bangsa Israel di Palestina, kita tidak bisa mengingkari. Apa yang kita kehendaki sekarang. Saya menentang gagasan dua negara dalam satu wilayah ini (Israel dan Palestina). Harus hanya ada satu negara bersama (common state) yang mendudukkan Muslim, Yahudi, dan Kristen dalam kesetaraan.

Terus terang yang kita pertanyakan kadar keyahudian Israel. Sebuah negara bersama bukanlah negara Yahudi. Israel menginginkan negara Palestina kecil yang terpisah dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa kecuali terhadap warganya sendiri. Itu bukan negara namanya. Apa yang saya maksud negara bersama, bukan negara Palestina “merdeka” seperti dalam benak Ariel Sharon. Itu utopia.

Ketika gagasan ini saya katakan kepada orang-orang Yahudi Zionis, mereka bilang, “Gagasan ini sepintas adil, tetapi sesungguhnya menghancurkan pondasi utama Israel.”

Negara bersama adalah negara Islam, sebagaimana Madinah. Negara seperti inilah satu-satunya format yang bisa melindungi hak dan mendesakkan kewajiban setiap orang secara setara, sebagaimana Madinah.

Jika pagi ini, Anda duduk di sini berhadapan empat mata dengan seorang pemuda Palestina yang akan melakukan ‘amaliyah istisyhadiyah (bom syahid) nanti malam, apa yang akan Anda katakan kepadanya?

(Tariq terdiam beberapa saat) Ada tiga hal yang akan saya katakan kepada pemuda ini. Pertama, Hasan Al-Banna pernah menceritakan, suatu kali ia menghadiri sebuah pertemuan di mana orang-orang berteriak, “Allahu Akbar wa lillaahilhamd! Kami ingin mati di jalan Allah.” Beliau berkata, “Mati di jalan Allah itu sangat sulit, tapi hidup di jalan Allah itu lebih sulit lagi.”

Ini sebuah keputusan besar. Anda mungkin akan lebih bermanfaat bagi rakyat Anda dengan membangun negeri ini daripada dengan kematian Anda. Pikirkan dan luruskan benar-benar niat Anda.

Kedua, akan saya katakan, membunuh orang-orang yang tidak bersalah bertentangan dengan Islam. Anak-anak Yahudi itu tidak bersalah. Jika Anda tetap akan melakukan hal ini, berhati-hati dan tentukan sasaran Anda secara tepat.

Ketiga, akan saya katakan, saya sangat menghormati Anda, karena dalam keadaan yang sangat sulit, dengan penuh keikhlasan, Anda berusaha menegakkan keadilan, Al-‘Adl, yang merupakan salah satu asma Allah ta’ala.

Di Eropa, jika seorang Muslim ditanya mengenai (bom syahid) ini ada dua kemungkinan, segera mengecam, atau merasa tidak enak, “eeehmm anu.. emm begini…”

Sebenarnya, segala hal di dunia ini bisa dijelaskan oleh Islam dengan lugas. Tidak ada yang membantah, bahwa membunuh orang yang tidak bersalah adalah melanggar Islam, per se condemnable. Tapi ada orang-orang yang sedang menghadapi penyiksaan, penjara, penindasan, dilupakan oleh seluruh negara Muslim, tidak ada pertolongan dari Barat, rumah-rumah mereka dihancurkan setiap hari. Kalau sampai mereka melakukan apa yang Anda disebut bom syahid itu menurut saya secara kontekstual bisa difahami. Saya tidak bermaksud membolehkan pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah, tapi kita harus bertanya, kenapa mereka sampai harus melakukan perbuatan itu. Saya katakan kepada para pemimpin Barat, Anda lah penyebabnya, Anda lah yang mendesak orang-orang ini sehingga berpikir inilah satu-satunya cara membela diri, Anda lah yang harus bertanggung jawab, bukan mereka.

Di Indonesia, ada orang-orang yang menyebut dirinya “Muslim modernis atau neo-modernis” dan menyebarkan pemikiran bahwa menjadi modern berarti menjadi sekular. Apakah Anda sependapat dengan hal ini?

Mereka berbicara sebagai Muslim di luar Islam, tidak sampai murtad, tapi menganggap Quran sebagaimana buku-buku lainnya dan menafsirkannya tanpa rasa apapun di hatinya. Saya menghormati orang-orang rasional tapi harap berhati-hati, pembaharuan Islam harus lahir dari dalam logika dan jantung hati Islam sendiri.

Saya datang dari Barat dan saya tahu kelemahan sekularisme. Apa yang terjadi di Barat bukan sekularisme, melainkan ketiadaan Islam (the absence of Islam). Kita harus memandang Quran dan Sunnah sebagai dua naskah sumber kebenaran dan membacanya memerlukan sains tersendiri. Ini bukan pendapat pribadi, tetapi prinsip yang sangat mendasar.

Shalat itu wajib dilaksanakan. Kalau ada yang bilang tidak wajib silakan, tapi jangan bilang pemikiran itu berasal dari Islam, katakan itu pendapat pribadi Anda. Misalnya saya katakan, hijab itu perintah Islam –isteri dan anak perempuan saya mengenakan hijab, tapi harus dilaksanakan dengan kemerdekaan, tidak dipaksakan. Setiap wanita harus memutuskan mau tidaknya dia berhijab, bukan orang lain. Ini merupakan keputusan iman.

Di dalam Islam, ada pembedaan antara wilayah privat dan wilayah publik, bukan pemisahan. Kalau yang Anda inginkan pemisahan, maka Anda mengikuti Barat sebelum Anda mengikuti logika.
Jika memahami Islam tanpa memiliki ilmu-ilmu dasar (ushuli), mereka berbicara sebagai orang di luar Islam. Mereka berbicara mengenai diri sendiri dengan memakai mata orang lain.

Apakah belajar Islam di Barat selalu mengandung risiko disorientasi seperti itu?

Ada dua trend orang Indonesia yang pergi belajar Islam ke Barat, yang pulang menjadi anti-Islam atau justeru jadi sangat Islami. Jika kita memegang prinsip-prinsip Islam, Anda tahu apa yang baik untuk Anda, dan itulah sikap Anda karena Islam menyatu (integrating) dengan Anda. Saya tidak merasa minoritas di Eropa. Ketika saya berbicara tentang keadilan, kemerdekaan, kehormatan pribadi, saya berbicara bersama mayoritas orang. Saya menjadi inklusif justeru saat saya memegang teguh prinsip-prinsip Islam.

Tentu Anda tidak berbicara untuk menyenangkan hati semua orang, bukan?

Tidak. Banyak juga orang yang menentang saya di Barat, bahkan dari kalangan Muslim. Dengan kalangan non-Muslim kami berdialog secara terbuka, tapi sebagian mereka juga mengatakan, orang ini berbahaya. Kata mereka, yang lebih berbahaya di kalangan Muslim sebenarnya justeru yang jenggotnya lebih pendek (tersenyum).

Baru-baru ini di sebuah koran terkemuka di Prancis bernama Liberation, ada sebuah tajuk yang menyebut, “Apa yang disebarkan Tariq adalah komunitarianisme (communitarianism). Anda salah, Tariq tidak menginginkan integrasi Muslim ke dalam Republik ini, ia ingin integrasi Republik ini ke dalam Islam.” Saya tidak menanggapinya.

Tahukah Anda, sebagian orang dan organisasi co-sponsor yang mengundang Anda ke sini merupakan simbol-simbol utama gerakan sekularisasi ummat Islam di negeri ini?

Saya tidak tahu. Sudah lama saya ingin ke Indonesia sampai seseorang menelepon dan menanyakan kemungkinan mengundang saya. Ini terjadi dua tahun lalu, dan mulai direncanakan serius setahun lalu, saya dihubungkan dengan Mizan. Pesan saya satu, tolong pertemukan saya dengan sebanyak mungkin kelompok, dan sekarang saya bertemu banyak orang.

Buat saya itu tidak masalah, tapi tolong sampaikan pesan kepada Brothers dan Sisters di sini, jangan melihat siapa yang mengundang saya, tapi dengarkan apa yang saya katakan. Sebab boleh jadi orang-orang yang mengundang saya menyediakan tempat agar saya mengatakan sesuatu yang Islami, tapi kemudian ternyata yang keluar dari mulut saya justeru bertentangan dengan tradisi Islam. Jangan menilai wacana dari siapa yang mengundang saya. Saya sering diundang oleh mereka yang disebut kelompok liberal dan mereka senang karena saya menyambut undangan mereka. Saya menentang pengkotak-kotakan Muslim.

Saya pergi ke Maroko, mereka punya persoalan besar karena tidak ada dialog terbuka antara kaum elit (yang berbahasa Prancis) dan kaum tradisional (yang berbahasa Arab). Saya datang dan membicarakan prinsip-prinsip logika dasar Islam, sekitar 900 sampai 1000 orang hadir, tidak ada yang menentang apa yang saya sampaikan. Saya mempromosikan dialog. Inilah maksud saya datang ke sini. Saya tidak tahu siapa sebenarnya mereka, tapi saya ingin mereka semua datang dan dengarkan saya, ayo kita bicara.

Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari Anda menjaga kekuatan iman dan pikiran yang kritis secara bersamaan?


Muraqabah, mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Membaca Quran setiap hari adalah bagian dari disiplin kita pada jalan hidup kita. Muraqabah membutuhkan pemahaman yang sangat luas mengenai ibadah, sampai apapun yang Anda lakukan, semuanya mengingatkan Anda pada Allah.*