Rabu, 20 Maret 2013

Pengertian Koalisi dan Tinjauan Syar'inya



         Koalisi mengandung makna akad, janji dan kesepakatan yang dihasilkan dari bertemunya dua atau beberapa keinginan kerjasama atas dasar tujuan-tujuan yang berdekatan serta beberapa syarat dari beberapa pihak untuk kepentingan umum. Rasulullah saw. bersabda, 

المسلمون عند شروطهم إلا شرطاً حرم حلالاً، أو أحل حراماً (رواه الترمذي، وقال: حسن صحيح)
“Umat Islam selalu memegang syarat yang mereka sepakati, kecuali menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” (HR Turmidzy)

Disebutkan juga dalam sebuah hadits qudsi,
أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه، فإذا خانه، خرجت من بينهما (رواه أبو داود من حديث أبي هريرة)، ورواته ثقات
“Aku (Allah) adalah pihak ketiga di antara dua pihak yang bersepakat selama keduanya tidak berkhianat. Apabila salah satu pihak berkhianat, maka Aku tidak lagi bersama mereka.”
Kaidah fiqih menyebutkan, “Akad adalah ikatan dua orang yang bersepakat”. Jadi koalisi itu mempunyai dasar syariat dan dianjurkan oleh Rasulullah saw.

         Imam Qurthubi berkata bahwa Ibnu Ishaq berkata, “Kabilah-kabilah Quraisy telah berkumpul di rumah Abdullah bin Jad'an, kemudian mereka bersepakat untuk tidak akan lagi menemukan orang yang terzhalimi di kota Mekah, baik keluarga maupun bukan. Jika terjadi tindak kezhaliman, maka mereka akan menghukum orang yang berbuat zhalim sampai ia menunaikan hak orang yang dizhalimi. Mereka menamakan kesepakatan ini dengan “Halful Fudhul”. Perjanjian yang pernah Rasulullah saw. sebutkan dalam sebuah hadits, “Sungguh aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad'an sebuah perjanjian yang lebih aku sukai daripada unta merah. Seandainya perjanjian itu diklaim dalam Islam, maka aku akan menyambutnya.”

         Perjanjian ini sesuai dengan makna yang disebutkan dalam hadits Rasulullah saw, “Perjanjian apapun yang pernah dibuat di masa jahiliyah tidak akan ditambahkan oleh Islam, bahkan Islam akan menguatkannya.” (H.R. Muslim). Imam Qurthubi mengomentari hadits ini, “Perjanjian akan dikatakan sesuai dengan syariat Islam, jika perjanjian tersebut tidak mengadopsi kezhaliman. Adapun perjanjian yang rusak dan akad atas dasar kezhaliman dan permusuhan, maka Islam menentangnya dan datang untuk menghapuskannya. Alhamdulillah Islam telah berhasil pada masa kejayaannya.

         Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang yang diangkat menjadi gubernur di kawasan orang zhalim. Ia bekerja serius untuk menghilangkan kezhaliman sebatas kemampuannya. Dia tahu bahwa jika ia tidak menjabat gubernur, maka orang lain akan menjadi wali dan kezhaliman terus berlangsung dan bertambah parah. Apakah dia boleh tetap menjabat sebagai gubernur? Ibnu Taimiyah membolehkan jika ia berjuang menegakkan keadilan dan berusaha menghapus kezhaliman sebatas kemampuannya. Kemudian ia menambahkan, “Kedudukannya sebagai gubernur itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi umat Islam daripada jabatan gubernur itu dijabat orang lain.” Beliau menambahkan lagi, “Tidak berdosa baginya untuk tetap menduduki jabatan gubernur, bahkan terkadang menjadi wajib jika ia tidak menjabatnya dan orang lain kemudian menjabatnya.” (Disebutkan dalam kitabnya “Majmu' Fatawa”) Ini terjadi di wilayah orang zhalim, bagaimana pula jika terjadi di wilayah yang lebih baik.
         Rasulullah saw. pernah menghadiri perjanjian “Al-Muthayyibin” sebelum bi'tsah. Setelah menjadi nabi, beliau bersabda, “Bersama pamanku saya pernah menyaksikan perjanjian “Al-Muthayyibin” dan aku menyukainya.” Karena dalam poin-poin perjanjiannya mengandung pembelaan terhadap orang yang dizhalimi dan bersepakat atas kebaikan dan mengingkari kezhaliman.
         Di satu sisi, koalisi merupakan bentuk meminta bantuan orang lain untuk melakukan kebaikan dan di sisi lain koalisi adalah membantu orang lain untuk berbuat baik sesuai dengan keperluan dan kepentingan partner kita. Salah satu patokan kita dalam koalisi bahwa yang mengontrol jalannya koalisi itu adalah prinsip, bukan orang.

Pertanyaan Seputar Koalisi
         Koalisi antara orang-orang Islam adalah kerjasama mereka secara pribadi, kelompok atau partai. Hal ini tidak mengundang perdebatan atau diskusi hukum agama, karena asasnya adalah “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”. “Bekerjasamalah kalian untuk melakukan kebaikan dan taqwa dan janganlah kalian bekerja sama untuk berbuat dosa dan permusuhan.” Yang menjadi fokus pembahasan adalah atas kepentingan apa kita akan berkoalisi? Maslahat agama apa yang dapat diraih dari koalisi? Dan apa pengaruhnya terhadap agama dari strategi koalisi ini?

         Ajaran Islam telah membolehkan, bahkan koalisi dengan non-muslim pun dibolehkan, karena di antara tujuannya adalah menyebarkan akhlaq dasar yang mulia, seperti keadilan, menghapus kezhaliman, persamaan, kemerdekaan, menghormati hak asasi manusia, memuliakan nyawa dan kehormatan, menjaga hak milik orang lain dan menjaga lingkungan hidup. Semua itu dalam konteks kesepakatan regional dan internasional. Koalisi merupakan pemikiran dan perangai da'i dalam perjalanan gerakan dakwah. Koalisi merupakan fikrah orang-orang yang percaya bahwa dialog dan hidup damai dengan segala golongan yang mempunyai orientasi berbeda serta meninggalkan segala jenis dan bentuk kekerasan.

         Sedangkan koalisi di masyarakat yang damai dan tenang bukan hanya kebijakan politik saja, tetapi sudah menjadi manhaj haraki dan tarbawi serta menjadi perilaku para kader yang dituntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Perilaku itu juga ditujukan untuk menerobos masuk ke politik, kekuasaan politik serta agar ide-ide yang berseberangan dengan yang sudah ada dapat diterima. Koalisi juga bisa memberikan waktu tenggang kepada kader dakwah yang konsern untuk menyempurnakan kesiapan dan persiapan; secara tarbawi, nafsi, fikri maupun sosial kemasyarakatan dalam tarbiyah rabbaniyah yang seimbang.
Gerakan Dakwah dan Koalisi
Para pemimpin gerakan dakwah modern  - yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk membentengi gerakan dakwah serta membawanya untuk menjadi faktor penting dalam percaturan politik - tidak keberatan membuat persetujuan koalisi dengan beberapa pihak yang nampak ada sedikit perbedaan dan pertentangan. Seperti kita dapati pada tahun 1936 Syeikh Abdul Hamid bin Badis berkoalisi dengan orang-orang komunis dan sekuler di Mesir dan bersama mereka membentuk partai Wafd setelah mereka melaksanakan konferensi. Kemudian ia memimpin upaya dialog kepada penjajah Perancis dan dalam sejarah disebut dengan “Konferensi Islam”, dia sebagai juru bicara resmi.
Ikhwan di Mesir pernah berkoalisi dengan partai sekuler Al-Wafd. Kemudian juga pernah berkoalisi dengan partai Asy-Sya'ab, partai Buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan bangsa Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan.
Imam Hasan Al-Banna juga pernah berkoalisi dengan tokoh-tokoh politik dan tokoh agama yang berbeda visi dan misi di lembaga Wadi Nil yang tertinggi untuk pembebasan Palestina dan perjuangan masalah Palestina. Jamaat Islam Pakistan juga pernah berkoalisi untuk merealisasikan prinsip-prinsipnya dalam setiap pemilu presiden.
Telah terjadi kesepakatan koalisi di negara-negara Islam antara gerakan agamis dengan aliran politik. Semuanya bertujuan untuk memenangkan kebenaran dan mempersempit wilayah kerusakan. Dari sini jelaslah bahwa koalisi adalah poros strategis musyarakah bagi gerakan dakwah Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar