Jumat, 15 Maret 2013

Salim A Fillah : Menyalakan Lentera Bersama Abu Yusuf



Menyalakan Lentera Bersama Abu Yusuf

dari : http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2151989847775713088#editor/src=dashboard
PRASYARAT

Pemahaman terhadap rasam tentang Abu Yusuf ini insyaallah akan lebih baik jika para pembaca tercinta terlebih dahulu membaca rasam kami yang berjudul “Menyalakan Lilin Bersama Raja’ ibn Haiwah”.
HadaanaLlaahu wa iyyakum ajma’iin.

KERAJAAN: DARI ‘UMAYYAH KE ‘ABBASIYAH

Awal-awal, agar pembaca tercinta tak musykil lagi dengan penyebutan ‘kerajaan’ untuk daulah setelah masa Khulafaur Rasyidiin, mari sejenak mengingat kembali hadits Safinah, Maula Rasulillah. Beliau ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Khilafah sepeninggalku tigapuluh tahun lamanya.” Ini lafazh yang diriwayatkan Ibnu Hibban (15/35/6657). Dalam riwayat Ahmad (5/221/21937), At Tirmidzi (4/503/2226), dan Abu Ya’la ada tambahan lafazh “Setelah itu adalah kerajaan.”

Dalam riwayat Abu Dawud (4646, 4647), dicantumkan keterangan Safinah yang berkata, “Mari kita hitung; Abu Bakr memegang urusan selama 2 tahun, ‘Umar selama 10 tahun, ‘Utsman selama 12 tahun, dan ‘Ali selama 6 tahun. Maka genaplah 30 tahun.” Adapun Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (9/153, 169, dan 210) menegaskan periode Khilafah berakhir ketika Al Hasan ibn ‘Ali menyatukan kaum muslimin dalam kepemimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pada bulan Rabi’ul Awwal 41 H, benar-benar tepat 30 tahun setelah wafatnya Rasulullah pada Rabi’ul Awwal tahun 11 H.

Adapun faidah tak menyebut masa itu sebagai khilafah di antaranya adalah, agar segala kerusakan dan kezhaliman yang terjadi di masa mereka tak dinisbatkan pada institusi mulia yang kita rindukan itu. Sungguh kita tak ridha pada lisan-lisan yang menodai kesucian khilafah dengan fakta-fakta sejarah yang –sesuai hadits di atas- dilakukan oleh para raja dan terjadi pada masa kerajaan ‘Umayyah dan ‘Abbasiyah. Bukan masa khilafah.

Kita sudah sedikit mengulas tentang kerajaan ‘Umayyah di bawah judul judul ‘Menyalakan Lilin Bersama Raja’ ibn Haiwah’. Dan semoga itu cukup.

-Senja Kerajaan ‘Umayyah

Yang bisa kita sebut sebagai penguasa mutlak terakhir Bani ‘Umayyah di Damaskus adalah Al Walid ibn Yazid ibn ‘Abdil Malik. Imam As Suyuthi dalam Tarikh-nya (220-221) menulis tentangnya, “Dia fasiq, suka meminum khamr, menikahi Ummu Walad ayahnya, dan menodai syari’at Allah. Pernah ia berangkat haji hanya untuk satu tujuan; meminum khamr di atas Ka’bah.” Imam Al Mawardi dalam Adaabud Dunyaa wad Diin menyatakan, “Satu hari, dia membuka mushhaf secara acak untuk meramal nasib baik baginya. Atas kehendak Allah, yang terbaca olehnya adalah ayat ini;

“..Dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala!” (Ibrahim 15)

Al Walid langsung merobek-robek mushhaf itu dan berteriak, “Apakah engkau mengancam semua yang sewenang-wenang dan keras kepala hah?! Nih, ini aku adah orang yang sewenang-wenang lagi keras kepala! Di hari penghimpunan nanti katakanlah kepada Rabbmu, ‘Wahai Ilahi, Al Walid telah merobek-robekku!”

Beberapa hari kemudian, sepupunya, Yazid ibn Al Walid ibn ‘Abdil Malik mengobarkan pemberontakan. Kepala Al Walid dipenggal, dipanggang di atas tombak, lalu disalibkan di atas pagar istananya. Demikian ditulis Ad Damiri dalam Hayat Al Hayawan Al Kubra (1/72), dan As Suyuthi dalam At Tarikh (222).

Bersamaan dengan itu, Abul ‘Abbas As Saffah telah memulai gerakannya secara terang-terangan dari Kufah. Adapun Yazid ibn Al Walid hanya berkuasa 6 bulan. Lalu saudaranya Ibrahim ibn Al Walid menggantikan selama 70 hari. Kemudian Bani ‘Umayyah dipimpin Marwan ibn Muhammad yang segera harus menghadapi pasukan ‘Abbasiyah di Zab Zab, dekat Mosul. Marwan kalah. Dia lari ke Mesir dan dibunuh di Abi Shair oleh Shalih ibn ‘Ali, yakni paman Abul ‘Abbas. Menjelang kematiannya dia berteriak, “Kerajaan kami -Bani ‘Umayyah- telah musnah!”

-Gerakan ‘Abbasiyah

Di bulan Rabi’uts Tsani 132 H, Abul ‘Abbas As Saffah berkhuthbah di Kufah setelah deklarasi gerakan dan pembai’atan dirinya. Setelah menyebut berbagai kezhaliman Bani ‘Umayyah, dia mengatakan, “Dan sungguh aku berharap kalian tidak akan didatangi kezhaliman pada saat kebaikan telah datang kepada kalian, tidak juga oleh kehancuran jika perbaikan telah mengunjungi kalian.”

Lalu berdirilah Dawud ibn ‘Ali, pamannya, yang menyatakan bahwa gerakannya tidak bertujuan menumpuk harta dan kekuasaan, melainkan untuk menumpas kezhaliman, membela keluarga sepupu mereka –keluarga ‘Ali ibn Abi Thalib- dan seluruh rakyat yang teraniaya. “Maka dengan ini kami berjanji”, katanya, “Demi kesetiaan kami kepada Allah dan RasulNya, demi kehormatan ‘Abbas, untuk memerintah sesuai Kitabullah dan berjalan sesuai teladan Rasulullah.” Riwayat kampanye Bani ‘Abbas ini diabadikan oleh Ath Thabari dalam Tarikh-nya (6/82-83), Ibn Al Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh (4/325), dan Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (10/41).

Karena kedudukannya sebagai ahli bait Nabi, kampanye ‘Abbasiyah begitu cepat dan luas mempengaruhi masyarakat. Apalagi disokong kemuakan ummat atas kekuasaan Bani ‘Umayyah yang kian hari makin zhalim, Baitul Maal yang tak berfungsi, peradilan yang kacau, dan situasi ekonomi yang timpang. Sungguhpun demikian, tak lama menunggu semua janji itu terbukti hanya kampanye dusta dan penipuan terhadap ummat. Abul A’la Al Maududi mengulas ini dalam Al Khilafah wal Mulk (227).

Lebih dari 50.000 kaum muslimin di kota Damaskus terbantai ketika pasukan Abul ‘Abbas menaklukkannya. Masjid Jami’ ‘Umayyah mereka jadikan kandang kuda. Mereka gali kuburan para penguasa Bani ‘Umayyah, mencambuki jasad dan tulang belulang itu di hadapan khalayak, lalu membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuhi semua anak-anak Bani ‘Umayyah, menggelar permadani di atas jasad-jasad bergeletaran itu, lalu duduk dan makan di atasnya. Di kota Basrah, Makkah, dan Madinah, jasad-jasad keluarga ‘Umayyah digantung pada lidahnya, dan tubuhnya dipereteli untuk makanan anjing di jalanan. Deskripsi ini bisa kita rujuk dalam karya Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah (10/345), Ibn Al Atsir dalam Al Kamil (4/333-334), dan Ibn Khaldun, At Tarikh (3/132-133).

Dan, tak sebagaimana janji awal mereka, bahkan terhadap sepupu-sepupu merekapun –keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib- penindasan yang mereka lakukan tak berbeda dari Bani ‘Umayyah. Sebagai gambaran, penguasa kedua ‘Abbasiyah, Abu Ja’far Al Manshur memerintahkan penangkapan Ibrahim ibn ‘Abdullah ibn Hasan ibn Hasan ibn ‘Ali, memenjarakannya, memperjalankannya dengan rantai dari Madinah ke Baghdad, dan menanamnya hidup-hidup di tembok kota. Mertua yang telah menyembunyikannya ditelanjangi, dicambuk 250 kali, dan dipenggal lalu kepalanya dikelilingkan di Khurasan. Kita bisa seksamai lengkap dan panjangnya kisah ini sebagaimana ditulis Ath Thabari dalam At Tarikh (6/161, 171-180), Ibn Al Atsir dalam Al Kamil (4/370-415), dan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah (10/80-82).

Adapun sepupu Ibrahim, Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Hasan ibn Hasan ibn ‘Ali dikenal sebagai An Nafsuz Zakiyah. Beliau dibunuh di Madinah, dipenggal kepalanya dan dikelilingkan di berbagai kota, jasadnya digantung di jalanan, lalu dilempar ke pekuburan Yahudi di gunung Sila’. Ibnu Katsir mengisahkannya dalam Al Bidayah (10/90).

Dengan tak ingin memperpanjang kesedihan kita menyeksamai perjalanan sejarah ummat sendiri, izinkan saya sudahi data-data menyesakkan hati ini.

Ya Allah, kami berlindung dari para penjanji yang jauh panggang dari api. Seorang Faqih dari Khurasan, Ibrahim ibn Maimun begitu percaya sehingga mendukung habis-habisan gerakan ‘Abbasiyah ini. Dia menjadi juru kampanye utama bagi panglima besar gerakan, Abu Muslim Al Khurasani. Ketika gerakan berhasil dan dia menuntut ditegakkannya syari’at Allah dan melarang mereka dari tindakan yang melanggar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, pemerintah ‘Abbasiyah pun membunuhnya. Ibnu Katsir mengkhabarkan ini pada kita dalam Al Bidayah (10/68).

Perubahan politik dari ‘Umayyah ke ‘Abbasiyah tidaklah mengubah kecuali nama dinastinya. Ulasan menarik dibawakan oleh Abul A’la Al Maududi dalam Al Khilafah wal Mulk (230). Sesungguhnya, kata beliau, perpindahan kekuasaan dari ‘Umayyah ke ‘Abbasiyah hanyalah perpindahan sistem pemerintahan kerajaan dari gaya Romawi-Bizantium ke gaya Imperium Persia.

Kerajaan ‘Umayyah yang beribukota Damaskus berdiri di bekas wilayah terpenting Romawi dan begitu dekat dengan Konstantinopel. Sedang ‘Abbasiyah memulai kekuasaannya dari Khurasan dan mendirikan ibukota di Baghdad di mana ribuan tahun kebudayaan dan peradaban Persia berurat berakar. Nilai-nilai lokal tak pelak telah menshibghah mereka dalam sistem kenegaraan, gaya pemerintahan, dan bahkan gaya hidup mewah dan kezhaliman para penguasanya.

TIRANI TANPA HUKUM

Kerajaan Bani ‘Abbasiyah berdiri semata-mata di atas gerakan politik yang berhasil menebarkan pemikiran dan pengaruh di tengah masyarakat, lalu berdaya merebut kekuasaan. Maka begitu berkuasa; sebuah kekosongan menyeruak; kekosongan hukum dan ketatanegaraan. Mengapa?

Dalam praksisnya, sejak awal, gerakan ‘Abbasiyah menegakkan kekuasaannya dengan rasa takut. Jika Bani ‘Umayyah punya Al Hajjaj ibn Yusuf, ‘Abbasiyah punya Abu Muslim Al Khurasani. Ketakutan yang timbul atasnya bahkan tak hanya dirasakan rakyat, tapi juga oleh Abu Ja’far Al Manshur, penguasa kedua, pengganti As Saffah. Mulanya, Al Manshur berdekat-dekat dengan Abu Muslim untuk menggunakan kekuatannya menstabilkan kekuasaan baginya. Tak lama, begitu merasa kuat, Al Manshur mengeksekusi Abu Muslim. Ath Thabari mencatat hubungan unik mereka dalam At Tarikh (7/471-472).

Pribadi penguasa ‘Abbasiyah pun, terutama Al Manshur, disorot karena kengerian manusia terhadapnya. Adz Dzahabi saat menjelaskan biografi Al Manshur menyebutnya “Orang yang tak tertahankan kezhalimannya jika marah.” Sering keluar ungkapan dari para ‘ulama; “Maka aku melipat bajuku agar tidak terciprat darahnya” saat membersamai rekannya yang berani mengungkapkan kebenaran di hadapan Al Manshur.

Kata-kata ini misalnya dibatinkan Imam Malik ketika membersamai Ibnu Thawus, sebagaimana dicatat oleh Ibnu ‘Abdi Rabbih Al Andalusi dalam Al ‘Aqdul Farid (1/54-55). Juga oleh Abu Hanifah ketika membersamai Ibnu Abi Dzi’b, sebagaimana diriwayatkan Al Kurduri dalam Manaqib Imam Al A’zham (2/15-16).

Karena kejahatannya, maka orang-orang shalih, para ‘ulama yang memahami sunnah dan keadilan sejak hari pertama sudah menghindarkan diri dari Bani ‘Abbasiyah. Mereka menolak terlibat dalam segala tata kenegaraannya karena mereka tahu bahwa jika mereka bergabung, mereka tak bisa sedikitpun membawa perbaikan di bawah ancaman pedang. Kita bisa melihat itu dalam karya Al Khathib Al Baghdadi, Tarikh Baghdad (13/320), juga Al Makki dalam Al Manaqib (2/170).

Sebagai akibatnya, Imam Abu Hanifah dicambuki hingga berlumuran darah, dipenjarakan, diganggu nafkahnya, diasingkan ke rumah khusus hingga meninggalnya. Beliau wafat wajar menurut suatu riwayat, dan diracun menurut riwayat lain. Lengkapnya bisa kita rujuk Al Makki dalam Al Manaqib (2/173-174, 182), Ibnu Khallikan dalam Wafayatul A’yan (5/46), dan Al Yafi’i dalam Miratul Jinan (310).

Adapun Imam Malik, beliau didera dan ditarik lengannya sedemikian rupa hingga patah. Ath Thabari mengisahkan ini dalam At Tarikh (6/190), Ibnu Khallikan dalam Al Wafayaat (3/285), Ibnu Katsir dalam Al Bidayah (10/84), dan Ibnu Khaldun dalam At Tarikh (3/191). Jika kita kini melihat para pengikut madzhab Maliki tidak bersedekap saat shalat, waLlaahu a’alm. Mungkin karena sesudah pematahan tangan itu Imam Malik tak mampu lagi bersedekap dalam shalat, lalu para muridnya mengikuti beliau.

Di tahun 158 H, Al Manshur memerintahkan Wali Makkah memenjarakan Sufyan Ats Tsauri dan ‘Ubbad ibn Katsir. Lalu diapun berangkat berhaji. Orang-orang khawatir bahwa mereka berdua akan dibunuh ketika Al Manshur hadir di Makkah. Sebab, seringkali Al Manshur meminta dihadirkan seseorang untuk dibunuh di hadapannya sebagaimana diriwayatkan dari Mubarak ibn Fadhalah. Tetapi atas kehendak Allah, Al Manshur wafat pada tahun haji itu sehingga kedua ‘ulama besar itu selamat. As Suyuthi mencatat peristiwa ini dalam At Tarikh (229-232).

Keadaan memprihatinkan ini adalah cermin ketiadaan kedaulatan hukum. Dalam taraf lebih rendah, sebagaimana dicatat Al Khathib dalam Tarikh Baghdad (10/309), juga Thasy Kubra Zadeh dalam Miftah As Sa’adah (2/119), seorang hakim di masa ini hampir pasti kehilangan jabatan jika tak berpihak pada kepentingan istana.

Hal lain adalah tampilnya orang-orang Persia, Majusi dan zindiq yang mengisi posisi-posisi penting dalam kerajaan ‘Abbasiyah. Seiring dengan menyingkirnya para ‘ulama dari kekuasaan,mereka mengisi kerajaan ‘machstaat’ ‘Abbasiyah dengan ketatanegaraan Persia yang jahiliah. Mereka banyak menebarkan faham zindiq dan gaya hidup Persia yang rusak, melakukan penindasan dengan fitnah-fitnah terhadap para ‘ulama, menyuap para penguasa itu dengan syair pujian, dan menyelewengkan keuangan negara.

Di masa Al Manshur, orang-orang Persia ini diangkat menjadi mayoritas para panglima dan wali negeri. Imam Al Mas’udi mencatatnya dalam Murujudz Dzahab (2/515), sementara Al Maqrizi mencatatnya dalam As Suluk (1/15). Imam Al Jahizh bakahkan mencatat dalam Risalah-nya (3/42) bahwa kelompok terbesar dalam pejabat sekretariat Negara terdiri atas para zindiq ‘Ajam yang beberapa kali menyusun lembaran Negara untuk membangun keraguan tentang tartib dan penulisan Al Quran.

Salah satu keluarga paling menonjol dari mereka adalah keluarga Al Baramikah, yang beberapa kali sempat memegang posisi Wazir seperti Yahya ibn Khalid Al Barmaki, Ja’far ibn Yahya Al Barmaki dan anak-anaknya. Mereka terus merajalela sampai kelak Harun Ar Rasyid menumpasnya.

AL QADHI ABU YUSUF, SANG LENTERA

Di tengah kegelapan kerajaan ‘machstaat’ ‘Abbasiyah itu adakah orang yang tak mengutuk gelap, namun menyalakan lentera?

Alhamdulillah, namanya Abu Yusuf. Kelak dialah yang akan mengubah kerajaan itu menjadi ‘rechstaat’. Para pengritik rawi yakni Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, dan ‘Ali ibn Al Madini menilainya sebagai ‘amat tepercaya’. Ini diebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam AlIntiqa’ (172) dan Ibnu Khallikan dalam Wafayaat (5/422).

Dia adalah murid utama Abu Hanifah. “Dia”, kata Abu Hanifah, “Adalah salah satu muridku yang paling banyak menghafal dan memahami ilmu.” Kata-kata ini diabadikan Al Kurduri dalam Al Manaqib (2/126). “Sekiranya murid Abu Hanifah hanyalah Abu Yusuf seorang, cukuplah itu menjadi kebanggaannya atas seluruh manusia.” Al Makki mencatat kekata Imam Dawud ibn Rasyid ini dalam karyanya Al Manaqib 2/232.

-Madrasah Abu Hanifah

Semua dimulai ketika Abu Hanifah melihat dia harus bertindak untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kondisi itu. Untuk kita ketahui, Abu Hanifah termasuk ‘ulama yang menganggap tidak sahnya kepemimpinan zhalim. Dia pernah menyokong pemberontakan Zaid ibn ‘Ali ibn Husain dan An Nafsuz Zakiyah, sebagaimana sikap beberapa ‘ulama lain di masa itu.

Namun beliau sadar, ada yang lebih penting dari kekuasaan politik. Yaitu menyiapkan perangkat lunak berupa sistem hukum dan sumberdaya manusia yang kelak akan digunakan untuk mengatur urusan kaum muslimin. Kelak jika saatnya tiba, dalam kepemimpinan imam yang adil. Maka berdirilah madrasah Abu Hanifah yang di saat wafat beliau telah mengkodifikasikan 83.000 persoalan fiqih yang disusun menurut judul dan subjudul tertentu menjadi Al Fiqhul Akbar. Al Makki menjelaskan hiruk-pikuk madrasah ini dalam Al Manaqib (1/96; 2/132-136).

Ijtihad awal madrasah ini adalah terus istiqamah mencetak kader-kader yang mumpuni dalam fiqih, hukum, dan ketatanegaraan sambil tetap mempertahankan independensi dan menjauh dari kekuasaan. Di bidang ekonomi, Abu Hanifah menekankan gerakannya untuk mandiri, dan dia sendiri memiliki jaringan toko sutera dan wol yang beroperasi dari Mesir hingga Hijjaz. Pabrik sutranya di Kufah begitu besar. Al Yafi’i mencatat ini dalam Miratul Jinan (1/310). Bahkan, begitu kokohnya institusi ekonomi madrasah ini sehingga ketika Abu Hanifah wafat, brankasnya menyimpan amanat modal sebanyak 50 juta dirham sebagaimana dicatat Al Makki dalam Al Manaqib (1/220).

Gerakan ini terus menyusun manhaj, menelaah, mematangkan diri, dan menyiapkan kader-kadernya dengan kemampuan dan kemandirian di berbagai bidang. Hingga satu saat, ketika Abu Hanifah telah wafat dan madrasah dipimpin Abu Yusuf, murid cemerlang ini melihat sebuah celah sejarah untuk menampilkan gerakannya dan mulai mengubah kondisi ummat dengan masuk ke dalam kekuasaan. Celah harapan itu ada pada perubahan politik yang terjadi kemudian, dan terutama pada sosok penguasa kelima kerajaan ‘Abbasiyah; Harun Ar Rasyid.

-Kontrak Politik dengan Harun Ar Rasyid

Salah satu perubahan politik terpenting yang dilakukan Ar Rasyid adalah digusur dan dibinasakannya keluarga Al Baramikah yang pernah kita sebut di awal. Jelas hal ini membuat para ‘ulama, orang-orang shalih, dan masyarakat umum merasa lega dan terbit harapan besar di hati mereka. Sebaliknya, para zindiq sedikit demi sedikit mulai menahan kelancangan terhadap syari’at yang selama ini mereka pertontonkan dengan bangga ketika menggenggam pemerintahan.

Hal lain yang makin menguatkan Abu Yusuf untuk berijtihad masuk ke dalam kekuasaan adalah pribadi Ar Rasyid. Ia tumbuh dalam bimbingan seorang ‘ulama, Mubarak ibn Fadhalah. Imam As Suyuthi dalam At Tarikh (249-250) menggambarkan karakter Ar Rasyid; “Dia mencintai ilmu dan mengagungkan syiar Islam. Shalatnya sunnahnya 100 raka’at sehari, tak ditinggalkan kecuali saat sakit. Shadaqah hariannya 1000 dirham dari penghasilan pribadi. Dia senantiasa menangis saat bermuhasabah. Suka meminta nasehat ‘ulama dan tertunduk tersedu jika dinasehati. Sangat menyukai pujian dan membalasnya dengan harta berlimpah. Dan suka bersyair.”

Abul Faraj Al Ishfahani dalam Al Aghani (3/178) menyifatinya; “Ar Rasyid adalah orang yang paling banyak menangis jika mendengar nasehat, namun juga yang paling bengis ketika memuncak amarahnya. Tentara yang berwatak keras, raja yang bermewah-mewah, sekaligus hamba Allah yang teguh dan takut padaNya.”

Maka ijtihad Abu Yusuf berbeda dari gurunya disebabkan perbadaan kondisi. Dia menerima dan menduduki jabatan Qadhi Al Qudhat, hakim agung di masa Harun Ar Rasyid dengan mengajukan tiga syarat; adanya kemerdekaan penuh kekuasaan kehakiman yang tidak bisa diintervensi eksekutif; adanya wewenang penuh bagi dirinya sebagai hakim agung untuk mengangkat dan memberhentikan hakim di seluruh wilayah; dan, kewenangan bagi dirinya untuk menyusun sebuah tata-perundangan baru yang akan menjadi pijakan pelaksanaan syari’at Allah dalam kerajaan ‘Abbasiyah.

Ketiga syarat dari jabatan yang belum pernah ada sebelumnya ini diterima oleh Harun Ar Rasyid. Al Makki menuliskannya dalam Al Manaqib (2/311), juga Ibnu Khallikan dalam Wafayaat (5/421).

Syarat yang pertama (pemisahan kekuasaan Eksekutif-Yudikatif); didasarkan pada pandangannya atas berbagai riwayat yang sampai kepadanya tentang praksis di masa Khulafaur Rasyidin. Misalnya bahwa ‘Umar sebagi Qadhi di masa Abu Bakr pernah membatalkan pemberian ta’lif berdasar keputusan Khalifah kepada Al Aqra’ ibn Habis dan ‘Uyainah ibn Hishn. Juga ‘Ali ibn Abi Thalib pun pernah diadili dan kalah dari seorang Nasrani di hadapan Qadhi Syuraih. Ini bisa kita lihat dalam karya Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyq (12/377).

Syarat yang kedua membuat Abu Yusuf bisa membawa serta 50 murid terbaik Abu Hanifah yang lain untuk mengisi jabatan kehakiman di berbagai wilayah. Dan syarat ketiga membuatnya bekerja keras menyusun Kitab Al Kharaaj. AlhamduliLlaah.

-Al Kharaaj, Dasar Hukum Kerajaan ‘Abbasiyah

Kitab yang disusun Abu Yusuf ini meliputi beberapa pembahasan yang sungguh luas dan bermanfaat. Abul A’la Al Maududi dalam Al Khilafah wal Mulk (329-339) menggarisbesarkannya dalam beberapa poin. Izinkan saya hanya meringkasnya saja;

1. Konsep Pemerintahan. Di sini beliau menekankan tanggungjawab penguasa kepada Allah dengan berbagai dalil dan riwayat serta contoh-contoh dari para Khulafaaur Rasyidin.

2. Jiwa Demokrasi. Bahwa seorang penguasa tak hanya bertanggungjawab kepada Allah, melainkan juga kepada segenap orang yang dipimpinnya. Beliau menyampaikan pentingnya kritik dari ummat kepada seorang penguasa dan bahwa kaum muslimin berhak menuntut dan meminta tanggungjawab atas hak mereka yang ditetapkan oleh syari’at.

3. Kewajiban-kewajiban Penguasa. Beliau menjelaskannya dengan detail dan terperinci, sedangkan sebelumnya tidak ada job description semacam ini.

4. Kewajiban-kewajiban Warga Muslim.

5. Baitul Maal. Beliau menegaskan bahwa Baitul Maal bukanlah milik penguasa; dia adalah amanah dari Allah sekaligus amanah dari masyarakat. Beliau menegaskan larangan penggunaan harta Baitul Maal untuk kepentingan pribadi. Padahal selama ini hal itu dilakukan oleh penguasa ‘Umayyah maupun ‘Abbasiyah.

6. Prinsip-prinsip Penetapan Pajak dan Distribusi Kemakmuran.

7. Hak-hak Ahlu Dzimmah.

8. Penjelasan Lebih Mendetail tentang Tanah dan Pajak.

9. Penghapusan Kezhaliman.

10. Independensi Peradilan.

11. Perlindungan Kebebasan Pribadi dan Peninjauan Kembali Berbagai Kasus Lampau.

12. Perbaikan Kondisi Berbagai Penjara dan Penegasan Hak-hak Bagi Tertuduh dan Terpidana.

KESIMPULAN

Setelah belajar dari Raja’ ibn Haiwah untuk menghadirkan kepemimpinan yang adil di tengah kondisi yang sulit dan sistem kerajaan yang rusak, kita belajar pada Abu Yusuf untuk menghadirkan perubahan ketika kondisi memungkinkan. Alhamdulillah.

Perubahan yang dibawa Abu Yusuf mungkin belum sempurna. Ya, karena sistem kerajaan masih tetap dengan kekuasaan yang turun-temurun dan diperebutkan internal wangsa ‘Abbasiyah. Tapi kita lagi-lagi belajar, bahkan dalam sistem yang tak kita sukai, entah itu monarki ataupun demokrasi, tetap ada kebaikan yang bisa dihadirkan.

Di masa Orde Baru, para muassis da’wah ini mungkin berijtihad sama dengan Abu Hanifah; menjauhkan diri dari kekuasaan dan membangun tanzhim da’wahnya. Tapi kini, reformasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan politik kita sebagaimana perubahan politik dan wajah kekuasaan yang dihadirkan Harun Al Rasyid. Perubahan itu telah menggerakkan Abu Yusuf untuk berijtihad –seolah- menyelisihi gurunya, namun sebenarnya tidak. Dia hanya menimbang hal paling bermanfaat yang bisa dilakukan. Dan dia telah membawa kader-kader Abu Hanifah untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan mengubah kerajaan ‘machstaat’ ‘Abbasiyah, menjadi lebih berdasar hukum, dan lebih dekat pada syari’at Allah.

Membandingkan mungkin tidak. Tapi izinkan saya menatap ta’zhim KH Hilmi Aminuddin yang ayahandanya dipenjara dan dizhalimi Orde Lama dan Baru, tapi kini mentaujihkan, “Berdamailah dengan sejarah. Bersiaplah tampil untuk Mihwar Daulah. Karena ummat menanti bukti apakah ketika urusan diserahkan pada syari’at dan orang shalih kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.”

Dan, izinkan saya menatap ta’zhim kader-kader da’wah kini yang telah bergerak dan menguasai keahlian dalam berbagai bidang kehidupan; politik, ekonomi, hukum, kedokteran, sosial, budaya, sains, kerekayasaan, dan teknologi. Ya, mari bersama Abu Yusuf menyalakan lentera, terlibatlah segera dalam pelbagai pengelolaan urusan ummat ini. Setidaknya untuk belajar, hingga ketika kelak Khilafah yang kita rindukan benar-benar wujud, ia tak kebingungan mengatur urusan ummat hanya karena tiada sumberdaya. Tragedi awal berkuasanya ‘Abbasiyah, tak boleh terulang lagi.

Dan tentu itu, salah satu bentuk jihad yang utama. Di masa ‘Umar ibn Al Khaththab, salah seorang asisten Gubernur Yaman mengajukan izin untuk berangkat berjihad. Kepadanya ‘Umar menulis keputusan, “Kembalilah engkau pada tugasmu! Sebab bekerja dengan benar dalam pelayanan ummat adalah jihad yang bagus!” Keputusan ‘Umar ini dicatat oleh Abu ‘Ubaid dalam Kitab Al Amwal (590), juga Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (4:68), dan Abu Yusuf dalam Al Kharaaj (180).

Tiada yang saya kehendaki selain menghadirkan kebaikan. Tentu ada yang tak setuju dengan rasam ini, dan ianya memang jauh dari sempurna. Maka nasehat dan masukan yang disampaikan dengan adab Islam selalu saya nantikan. Jika hujjah telah bertemu hujjah, maka tak ada yang lebih layak dari kesalingfahaman dan terjaganya persaudaraan. Semoga Allah menjadikan kita semua mencintai kebenaran, bergerak bersamanya, untuk menebarkan ‘amal shalih dan manfaat bagi ummat. Saya percaya, dengan itu, kegemilangan yang dinubuatkan itu makin dekat.;)

salim a. fillah –www.fillah.co.cc-

dari : http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2151989847775713088#editor/src=dashboard

Tidak ada komentar:

Posting Komentar